Tamparan Keras dari Tukang Sampah
Nasionalisme bisa milik siapa saja. Pahlawan, jelas. Karena mereka zaman dahulu berperang dengan senjata seadanya untuk mengusir penjajah. Bahkan seorang tukang sampah perumahan pun berhak memilikinya dan mempertahankan bagiamana rasa itu harus dijaga sampai nanti. Kali ini aku ingin tuliskan bagiamana seorang tukang sampah memprotes warga yang memasang bendera merah putih menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus belum lama ini.
Sudah menjadi aturan, setiap menyambut hari kemerdekaan setiap rumah harus mengibarkan bendera. Aturan ini tak terkecuali juga disampaikan oleh Ketua RT di Perumahan Taman Lembah Hijau, Tanjungpinang. Karena perumahan ini kecil, warganya tak seberapa banyak, maka setelah mendapatkan perintah langsung saja kami memasang bendera.
Sebelumnya, warga memasang ratusan bendera merah putih dari kertas minyak, dirangkai dengan benang lalu dipasang di atas jalan masuk perumahan. Setiap Agustus, kemeriahakan selalu tampak di setiap perumahan. Bukan hanya di perumahan tempat aku tinggal. Bagi perumahan elit, tentu saja ornamen penyambutan hari kemerdekaan terasa lebih terasa. Karena iuran warganya juag pasti lebih banyak dibandingkan perumahan perumahan kelas menengah ke bawah. Namun sejatinya bukan dilihat dari gemerlap hiasannya, melainkan rasa nasionalisme yang ada di dada.
Kulihat tetangga kanan kiri memasang bendera. Ada yang memang membuat tiang untuk memasang bendera, namun beberapa menggunakan tongkat kayu seadanya. Yang penting bentuknya lurus, agak tinggi, bisa diikat dengan tali pada pagar rumah atau batang pohon depan rumah. Kalau kulihat sih semata mata mematuhi aturan pemasangan bendera. Padahal aku yakin, pasti ada aturannya bagaimana cara memasang bendera, termasuk tinggi tiangnya.
Termasuk aku, karena mencari batang kayu atau bambu tak ketemu, akhirnya ada bekas kayu gagang sapu yang panjangnya semeter lebih sedikit menjadi solusi. Kuikat bendera merah putih yang sudah dibeli empat tahun silam ke bagian atas paralon tadi. Langkah selanjutnya ternyata tidak mudah, karena tak ada bagian rumah yang bisa kujadikan sebagai tempat mengikat tiang bendera tadi.
Ada dinding gazebo, namun terhalang atapnya sehingga harus dipasang miring. Nggak sopan, pikirku. Kucari besi sambungan cor pagar samping, tak cukup panjang untuk disambungkan. Alhamdulillah, akhirnya ada solusinya, yaitu tiang teras tambahan. Kuikatkan di salah satu tiang dengan posisi tegak lurus. Memang ada bagian bendera yang terlipat karena langsung berhimpitan dengan kayu tiang.
Tak apalah, pikirku, jauh lebih gagah dibandingkan diikat di tiang gazebo atau yang lain.
Hingga suatu petang tukang sampah keliling seperti biasa melakukan rutinitas kerjanya. Begitu sampai di depan rumahku, kebetulan aku membaung sampah, ia berkata pelan namun jleb rasanya. Kalimat yang diucapkan itu benar benar tak pernah kusangka akan keluar dari mulutnya.
"Tinggal enaknya saja pasang bendera seperti ini, Mas. Apa mau ikut berjuang panggul senjata untuk mempertahankan merah putih?" itulah kalimat yang diucapkannya.
Rasanya seperti ditampar tangan Hulk atau kena pukulan godam Thor. Langsung mengenai dasar jantungku. Rasa malu karena diingatkan oleh tukang sampah yang selama ini kukenal diam, tak banyak bicara. Aku tidak marah, hanya malu. Ia kemudian juga menunjuk beberapa rumah yang juga memasang bendera dengan tiang seadanya, dan saat ia menunjuk ada tiang bendera yang bengkok. Bukan karena patah, karena tiangnya dibuat dari sambungan dua tongkat pendek. Mengikat sambungannya pun tidak sempurna.
Setelah tukang sampah pergi, langsung kucari bekas paralon di tumpukan barang bekas di samping rumah. Ah, kalau dicari benar benar ada juga tiang panjang itu. Terngiang dengan jelas ucapan tukang sampah, tinggal enaknya saja... ya kita tinggal enaknya saja sebenarnya, menikmati kemerdekaan yang diperjuangkan para pejuang. Dan saat kupandangi bendera merah putih di tiang yang lebih layak, aku rasakan kibarannya. Terima kasih para pejuang.... maafkan kami.
Post a Comment for "Tamparan Keras dari Tukang Sampah"