Semudah Itu Masuk Surga, Yah?
Surga sudah menjadi semacam tempat yang begitu didambakan manusia. Sebagai muslim, aku sangat percaya adanya tempat yang dijanjikan Allah untuk manusia berakhlak mulia. Dan aku juga percaya, tiket untuk sampai ke dalamnya sangatlah susah. Semua lantaran manusia memiliki nafsu, berbagai macam nafsu. Jika ada pertanyaan semudah itukah masuk surga? Bagaimana menjawabnya?
Pertanyaan itu dilontarkan anakku yang saat ini duduk di kelas 9 (baca tiga es em pe). Lajang yang hobi bermain gitar ini menanyakan hal tersebut setelah membaca status atau postingan di media sosialnya. Ilalang, begitu nama anakku, yang juga dijadikan nama akun media sosialnya, bukan bertanya dengan nada canda. Maklum, sejak kecil ia memang sudah dididik dengan cara yang agak keras, khususnya bila bersinggungan dengan agama. Sebab aku sadar, suatu ketika ia adalah burung yang akan terbang meninggalkan sarang.
Jika dasar pijakannya kuat, ia akan mampu memulai penerbangan dengan sempurna. Bila kepakan otot sayapnya kuat, ia akan mampu meliuk liuk di bawah pusaran angin. Orangtua mana yang tak menginginkan anaknya menjadi pribadi yang baik.
Waktu itu aku ditunjukkan status temannya yang mengunggah foto seorang perempuan tua, entah foto siapa yang diambil. Di bagian bawah foto tersebut diedit dan disisipi kalimat, bila ingin ibumu masuk surga ketik amiin (mungkin penulisannya tidak persis seperti ini, namun secara garis besar kuingat kalimatnya seperti itu),
Ilalang, anakku. Sejak engkau mulai bisa bicara dan berpikir aku selalu menanamkan rasa cinta kepada semua orang, khususnya yang lebih tua. Mungkin cara yang salah atau benar, aku juga kurang paham benar, aku pun senantiasa bercerita kepadamu mengapa harus rajin salat? Mengapa harus mengaji? Mengapa puasa Senin - Kamis? Kutanamkan kepadamu, karena semuanya itu perbuatan baik, semoga dicatat sebagai sebuah kebaikan oleh Allah dan salah satu ganjaran bagi orang yang baik di dunia ialah surga.
Untuk berbuat baik butuh tenaga dikeluarkan. Misalnya jalan kaki menuju masjid di ujung gang perumahan. Tetap pauasa meski ada pelajaran olahraga di kelasmu. Sementara dalam postingan itu yang tertangkap secara gampang ialah ibumu akan masuk surga jika mengetikkan reply status sebuah media sosial dengan kata amiin.
Ilalang berseloroh, kalau seperti itu benar, enak hanya mengetik amin akan ada ibu ibu masuk surga. Untungnya ia sebenarnya sudah memiliki jawaban. Pertanyaan yang ditujukan kepadaku tak lebih dari rasa penasarannya dan menambah kuat argumennya bahwa status seperti itu harus dikaji dalam pikiran. Yang dipertanyakannya juga ialah, kalau postingan seperti itu tak baik mengapa tidak dihapus saja sama pembuat atau pencipta media sosial. Ealah anakku, untuk memblokir sebuah akun seseorang tentu tak semudah kamu memetik kunci C,D,F,G dan sebagainya di gitar klasikmu. Butuh laporan, pertimbangan, menyelidiki kontennya seperti apa, demikian seterusnya.
Butuh penjelasan yang disampaikan dengan hati hati agar anak seusia Ilalang bisa benar benar paham. Apalagi dengan begitu mudahnya informasi di media sosial, hal hal baru akan dengan sangat cepat diketahui. Semakin banyak teman seseorang di media sosial, semakin cepat sebuah informasi, tips, penawaran barang dagangan, cari jodoh, hingga berita berbau ujaran kebencian berseliweran. Dan remaja sekarang sudah sangat familiar dengan adanya smartphone.
Nah, akhirnya kugunakan kata smartphone untuk memberikan jawaban. Smart berarti pintar, phone artinya ponsel atau handphone. Jadi smartphone adalah ponsel pintar. Kusampaikan, hanya orang orang pintar yang sebenarnya berhak memegang smartphone. Pintar masih kurinci lagi, bukan semata yang nilai pelajaran dan ujiannya bagus di sekolah, yang prestasi ekstra kurikulernya spektakuler, namun lebih ke seseorang yang tak menelan mentah mentah status yang dikirimkan seseorang ke media sosial kita. Ponsel pintar hanya untuk orang pintar, begitu aku menyitir kalimat sebuah iklan produk Jamu di televisi swasta.
"Mau dibelikan ayah ponsel senter karena tidak termasuk orang pintar?" tanyaku.
Dan Ilalang menjawab dengan cepat, jawaban yang pasti bisa Anda tebak.
"Ah hape jadul," jawabnya sedikit mengandung nada protes.
Kebetulan saat ini ponsel Ilalang rusak karena terjatuh. Untuk melihat dan mengecek media sosialnya, ia terpaksa menggunakan komputer meja di rumah. Dengan layar monitor yang sudah mulai mengabur, tampaknya Ilalang tak nyaman.
Kusampaikan, kata amiin atau kata lain yang diminta dituliskan di sebuah postingan media sosial tentu bukan kata yang mengandung arti negatif. Bagus. Cuma menurut aku akan lebih bagus lagi kalau ditulis atau dibaca pada tempatnya. Kata kata pilihan itu seyogyanya diucapkan di momen istimewa karena maknanya agung. Bukan lantas amin nanti jadi kaya, amin lantas ibu masuk surga, amin ujungnya nilai ujian bagus, amin kemudian sakit seseorang sembuh. Di samping amin, ada perbuatan lain yang melengkapinya.
Untuk ibu yang sudah tua, ya sesekali pulang untuk menjenguknya. Rajin menelepon meski hanya mengabarkan kondisi keluarga yang sehat dan menanyakan kabar ibu. Mengajak ibu jalan jalan ketika suntuk di rumah lantaran teringat almarhum ayah, atau perbuatan lainnya. Lalu berdoa sebagai anak yang saleh atau saleha.
Post a Comment for "Semudah Itu Masuk Surga, Yah?"