Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Tukang Urut dan Urusan Tuhan

Nenek Isa mengurut pasiennya. Fotoku
Nama utuhnya aku tak tahu, atau belum tahu. Mungkin pada pertemuan berikutnya aku akan bertanya soal nama itu. Kalau memang pada akhirnya hanya Isa yang kutahu sebagai namanya, aku kembalikan saja pada kalimat hebat itu: apalah arti sebuah nama. Toh seandainya namanya bukan Isa, melainkan Siti atau Nancy, keinginanku untuk menuliskan salah satu sisi hidupnya tetap ada.

Usianya tak lagi muda, kurang lebih 60. Namun mobilitasnya tinggi. Ia juga terlihat sehat untuk wanita seusianya. Sudah belasan tahun Nenek Isa tinggal, hidup bersama suami dan anak anaknya di Tanjungpinang, dekat Dam Seiladi. Dari Simpang Batu 10 Tanjungpinang, yang ada Hotel Comfort, SPBU, pos polisi, Sate Blitar, lurus saja ke arah Kijang. Jangan belok kiri ke arah Bandara Raja Haji fi Sabilillah. Kira kira empat kilometer ada Dam Seiladi, sebelah kanan ada jalan kampung. Di sinilah Nenek Isa tinggal dan menerima tamu yang hampir setiap hari menemani hari tuanya.

Belum genap seminggu lalu, saat mengurut pergelangan tangan seorang karyawan Bintan Wrapping yang keseleo kudapatkan sedikit pengakuan Nenek Isa. Hanya sedikit kata terucap karena ia berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Lagipula yang diurut beberapa kali menunjukkan mimik lucu, lahir dari perkawinan sakit dan malu. Mungkin juga sakit ditambah menyesal mengapa sampai jatuh saat mengendarai sepeda motor. Lucu wajahnya. Meringis, tertawa ditahan, mengaduh. Dan Nenek Isa fokus pada pasiennya.


Berapa jumlah pasien yang pernah diurut? Lupa, begitu jawaban Nenek Isa. Karena terlalu banyak. Apalagi keahlian yang dimilikinya merupakan karunia Tuhan yang diberikan sejak ia menginjak remaja. Pada awal ia membantu orang, tetangga di kampungnya, sebuah desa di Jawa Barat, ada yang memanggilnya untuk membantu mengurut korban kecelakaan. Saat memasuki rumah orang tersebut, ada seorang wanita muda duduk di kursi. Yang membuat Nenek Isa heran, salah satu kakinya disampirkan ke pundaknya. Merasa hal itu aneh, ia bertanya kepada orang yang memanggilnya.

“Astaghfirullahaldziim, rupanya itulah pasien yang harus saya bantu,” tutur Nenek Isa yang pagi itu diantar anak angkatnya.

Nenek Isa tak menduga, yang harus diurut adalah sekujur kaki yang hancur bagian tempurung lututnya karena kecelakaan. Karena tanpa tulang tempurung lutut itulah, kaki pasien bisa dilipat. Yang pertama kali dipikirkan oleh Nenek Isa satu, apakah bisa ia membantu tetangganya dengan kondisi kaki separah itu. Pasien memang menolak dibawa berobat ke tempat lain, yang dia mau ya Nenek Isa.

Lantas urusan itu diserahkan Nenek Isa ke Tuhan. Ia hanya minta agar senantiasa dibenamkan sifat baik ke dalam hatinya, ikhlas. Pelan pelan ia melakukan pengurutan dan tak ada yang bisa melarang ketika Tuhan menunjukkan Kuasa-Nya. Entah dari mana datangnya, Nenek Isa pun tak bisa menjawab, bagian tulang tempurung lutut tiba tiba ada di tempatnya. Dan sampai sekarang pasiennya itu bisa berjalan normal. Ada urusan yang harus dilakukan sendiri oleh manusia, ada urusan yang harus diserahkan ke Tuhan, nasihatnya.

Pasien Nenek Isa tersebar hampir di seluruh kabupatan/kota di Provinsi Kepulauan Riau. Kalau dipanggil mengobati pasien ke Malaysia, Singapura, Thailand sudah biasa. Yang tak biasa dan menjadi sebuah hal menarik dan akhirnya memunculkan keinginan membuat tulisan ini adalah kepergiannya ke Kanada.

Seorang pasiennya di Singapura memiliki saudara yang tinggal di Kanada. Saat Nenek Isa ditanya maukah membantu mengurut seorang wanita di Kanada, ia langsung mengiyakan. Pada hari yang ditentukan, Nenek Isa dijemput pasien Singapura tadi ke rumahnya di Tanjungpinang. Nenek Isa membawa pakaian ganti karena ia tahu akan mengobati orang ke luar negeri. Ia baru terkejut saat diberitahu perjalanan akan memakan waktu kurang lebih 8 jam. Aku tak ingat dari bandara mana Nenek Isa berangkat.

Begitu diberitahu bahwa perjalanannya sejauh itu, buyarlah harapannya untuk bisa balik lagi ke Tanjungpinang sore harinya. Sebab jika dipanggil ke Singapura atau Malaysia, paling dua hari sudah bisa pulang lagi.

“Saya ingat orang orang lain yang juga harus saya urut. Ternyata lama ya ke Kanada, saya mah tak tahu Kanada itu mana jadi asal iya saja,” kata Nenek Isa. Ia lalu tersenyum kecil.

Bukan karena jumlah upahnya sebagai tukang urut membuatnya sedih. Terus terang ia mengatakan tak pernah menetapkan tarif. Itulah salah satu penerapan jurus ikhlas nenek Isa. Jika harus ke Kanada berhari hari baru bisa balik Indonesia, bagaimana pasien pasien lainnya, batin wanita yang selalu mengenakan kerudung ini.

Akhirnya sampailah ia ke rumah pasangan suami istri yang menetap di Kanada. Beruntung ada orang Singapura yang bisa menerjemahkan percakapan dirinya dengan pasien. Kali ini pertolongan yang diminta pasien: agar bisa hamil. jelas, urusan hamil itu kuasa yang di atas sana. Untuk ke sekian kali, Nenek Isa hanya bisa berdoa kepada Tuhan. Ia berharap segala yang dilakukannya dimasukkan ke dalam kategori kebaikan oleh Tuhan.

Saat datang kedua kalinya ke Kanada, Nenek Isa bersyukur pasien tadi melahirkan tiga anak. Bukan dua, melainkan tiga bayi. Air mata bahagia tak mampu dibendung Nenek Isa kala itu. Jika bukan karena Tuhan, tak ada yang bisa seperti itu.

Dalam sehari, selalu ada pasien yang harus didatangi atau datang ke rumahnya. Bahkan sehari 5 atau 8 pasien sudah biasa. Melayani sejumlah itu, tak ada senjata paling ampuh selain ikhlas.

“Ikhlas membuat saya bekerja senang,” tuturnya.

Post a Comment for "Kisah Tukang Urut dan Urusan Tuhan"