Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Dua Pasang Sepatu di Rak

Sepasang sepatu di rak samping kulkas. Fotoku
Sepatu kulit cokelatku iri dengan sepatu kain biru krem milik anak. Pikir sepatuku, enak ya andai menjadi sepatu yang dipakai anak muda. Malam minggu diajak jalan jalan bersama teman-temannya, nonton bioskop, atau sekadar ngobrol di kafe.

Beda denganku, paling hanya dipakai ketika sang empunya mau bertemu seseorang yang tak pantas ditemui kalau tanpa bersepatu. Seminggu sekali juga belum tentu aku dipakai. Kulitnya sudah menua, mungkin sudah mau dibaung aku ini.

Sementara sepatu anakku pun berpikir, enak betul sepatu kulit punya ayah pemilikku. Meski hanya seminggu sekali dipakai, namun setiap kali dipakai di kakinya dan bertemu seseorang biasanya menghasilkan uang. Pasti sepatu kulit itu membuat yang memakainya tampak gagah. Jalan jalannya pun beda, urusan bisnis. Kalau aku, ah jalan jalan melulu bikin tipis alas karetku saja.

Dua pasang sepatu itu selalu diletakkan di rak, berdekatan dengan kulkas di dapur rumahku. Tak perlu diingatkan, anakku pasti menaruhnya sepasang, sementara aku juga demikian. Kalau saja penataannya berubah, seperti pada foto di atas misalnya, aku yakin anakku akan menukarnya dengan pasangannya. Aku pun demikian, akan mengambil sepasang sepatu kulit. Apa jadinya jika sebelah kanan kakiku bersepatu anakku, yang kiri sepatu kulit. Gila. Edan. Sableng. Otaknya kurang. Mungkin itu yang terlontar dari mulut banyak orang yang melihatnya.

Begitulah kisah sepatu sepatu dalam satu rak.

Andai sepatu sepatu itu punya mata dan mulut, bisa saja mereka saling mengagumi. Saling iri. Sama seperti dalam kehidupan ini. Seseorang akan membayangkan kehidupan orang lan lebih menyenangkan. Lalu ia meratapi dirinya sendiri, dan berkhayal ah seandainya ia menjadi orang yang selalu dipikirkannya itu. Padahal, orang yang dipikirkannya pun memikirkan orang lain.


Seorang penjual martabak membayangkan enaknya menjadi pegawai negeri. Berseragam, gajian tiap bulan, pada batas usia mendapatkan pensiun. Sementara gaji untuk pegawai itu salah satunya dari hasil pajak, termasuk pajak kendaraan, PBB dan pajak lain yang selalu rutin dibayarkannya sebelum tanggal jatuh tempo. Justru pegawai negeri angannya mengembara, membayangkan enaknya menjadi tukang cukur rambut. Jika ia hanya menerima gaji per bulan, tukang cukur langsung menerima upah jasa dari setiap orang yang memanfaatkan keahliannya.
Dan tukang cukur rupanya sering membayangkan enaknya berjualan martabak. Tak harus menyapu lantai setiap hari. Juga membayangkan sedapnya andai dirinya seorang pegawai negeri. Jam kerjanya tetap. Kadang dinas luar.

Penjual martabak tak tahu jika pegawai negeri yang membuatnya iri sebenarnya tengah dalam kekalutan luar biasa. Saat SK-nya dimasukkan ke bank sebagai jaminan karena ia membeli sesuatu, pemerintah mengetatkan aturan agar pengeluaran pegawai dijaga. Main proyek tak bisa semudah dulu. Belum lagi anak anaknya sebentar lagi masuk kuliah, sementara istrinya ibu rumah tangga biasa.

Pegawai negeri itu juga tak tahu jika tukang cukur tengah dirundung persoalan. Ibunya sedang sakit keras, tumpuan harapan ibunya adalah dirinya. Yang dipikirkannya adalah mendapatkan uang untuk membantu biaya pengobatan ibunya. Kemurungan tampak di wajahnya meski tengah melayani pelanggan.

Dan tukang cukur tak tahu bahwa penjual martabak baru saja ditinggalkan istrinya, lari ke pelukan lelaki lain. Padahal semangat kerjanya adalah membahagiakan istrinya. Sungguh, ingin rasanya ia mengakhiri hidupnya seandainya tak ingat anak yang ditinggalkan istrinya dan harus dirawatnya.

Begitulah manusia, saling pandang, saling membayangkan dengan segala hal yang sama sekali tak diketahuinya pada orang lain. Dan aku adalah tukang stiker, yang berusaha agar rasa syukurku tetap menjadi bagian dariku. Aku tak ingin menjadi orang lain karena bisa saja orang lain pun ingin menjadi sepertiku. Biarkah semua dengan peran dan tugasnya masing masing.

Sepasang sepatu kulit yang kulitnya sudah tua akan terasa sangat nyaman di kakiku daripada aku mencoba mengenakan sepatu anakku. Sangat tidak nyaman jika harus kupakai sebelah sebelah. Dan betapa tak enaknya kaki anakku seandainya kupakasa memakai sepatu kulitku. Yang paling nyaman sepertinya memang meletakkan sepatu kulitku berpasangan, dan menaruh sepatu bitu krem anakku juga berpasangan. Meski diletakkan di rak berdekatan, lebih sedap dipandang dan mudah saja saat mengambilnya.

Post a Comment for "Kisah Dua Pasang Sepatu di Rak"