Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Disangka Gila, Ternyata Gila Beneran

Aku tuliskan tulisan ini saat sebuah foto dikirimkan temanku dalam sebuah grup Whatsapp. Kok membacanya terpingkal-pingkal. Fotonya adalah sebuah kaos t-shirt hitam dengan tulisan di punggungnya. Tulisannya seperti ini: Urip Kuwi Wang Sinawang, Kayane Waras Jebule Edan Kayane Edan Jebule Tenan. Artinya Hidup Itu Saling Menatap, Sepertinya Waras Ternyata Gila, Dikira Gila Ternyata Gila Beneran.

Foto:grupwhtaspapp
Dan memang begitulah hidup dalam kenyataan sebenarnya. Pasti Anda pernah menatap dalam hati tetangga Anda yang tiba-tiba merenovasi rumahnya, dan Anda melihat kondisi rumah Anda sendiri, masih seperti saat diserahkan pengembang. Masih original. Lalu berbagai pikiran berkecamuk dalam pikiran Anda, entah itu salut hingga iri. Sementara Anda tidak tahu apa yang terjadi dalam rumah yang baru direnovasi itu. Mungkin bahagia Anda tidak ada dalam rumah tersebut. Anda bisa bercengkarama dengan anak-anak, sementara rumah tetangga itu belum ada tangisan bayi meski sudah belasan tahun menikah.

Lalu suatu ketika Anda mendapati seseorang mengendarai sepeda motor butut, bukan sengaja dibuat butut seperti anak-anak zaman now. Anda yang mengendarai mobil meski bekas lantas lupa menginjak pedal rem saat melewati genangan air di jalan akibat hujan. Crot, cipratan air pun mengenai pakaian pengendara motor tadi. Dan Anda dengan kseombongan berkata pelan, siapa salah masih pakai motor. Dan suatu ketika Anda menunggu teman yang ingin menabung di bank, lalu melihat pengendara motor yang kena ciprat air beberapa waktu lalu. Tak lagi mengendarai motor bututnya, melainkan turun dari mobil yang lebih bagus dari punya Anda. Ia menenteng tas, bayangkan saja itu isinya duit semua. tak ada satu lembar pun yang daun.

Guyon, memang kesannya seperti itu kata-kata yang ada di kaos tadi. Sekilas yang membacanya akan tertawa, atau sekadar tersenyum. Namun jika kita pikirkan lebih jauh, begitu banyaknya beban dalam hati yang timbul akibat saling menatap tadi.Tak semua orang suka pamer. Banyak orang yang rendah hati dan berpenampilan apa adanya untuk menunjukkan bahwa ia lebih mampu dari banyak orang. Juga tak sedikit manusia yang baru punya sesuatu lantas lupa dari mana ia berasal. Ia seakan tak pernah menyadari dirinya adalah mahluk sosial.


Aku ingat satu kalimat pernah disampaikan mantan pemimpin redaksi koran di mana aku selama 10 tahun bekerja satu kantor dengannya. Saat rapat ia hanya menginginkan berita berita terbaik untuk tampilan headline dan space lain di halaman pertama. Jika semuanya sudah bekerja maksimal, ya tak usah terlalu dipikirkan jika ada suara-suara oh itu berita bagus karena begini, begitu, begono. Habis energi kita memikirkan hal hal yang tak penting, biarkan saja. Biarkan orang lain capek sendiri memikirkan kita.

Foto:clipartreviewdotcom
Teorinya seperti itu, tetapi apa semudah itu menjalankannya dalam hidup, dalam urusan lain? Sangat sangat sulit. Apa yang disampaikan mantan bosku agaknya juga selaras dengan kalimat bijak ini: Dont judge a book by its cover. Belum tentu sebuah buku di rak sebuah toko buku yang gambar sampulnya tidak menarik isinya tak berbobot. Menilai sesuatu dari apa yang tampak oleh mata hanya akan menyesatkan. Bukan hanya Anda, aku jujur saja terlalu sering melakukan itu dan pada akhirnya aku harus malu sendiri.

Rasa dan hati itu memang menjadi bagian dari manusia hidup. Kecuali manusia mati, ya sudah. Eh, namun begitu masih ada yang berpikiran yang bukan-bukan meski seseorang sudah meninggal. Anda bakalan capek sendiri, apalagi yang Anda tatap tak bisa lagi hidup. Pikiran negatif akan sesuatu hanya membuat sakit jiwa. Jika diterus-teruskan malah benar-benar dibawa ke rumah sakit jiwa.

Aku hanya melihat alangkah bagus makna kata kata dalam kaos yang entah benar ada yang jual atau sekadar kreasi temanku di grup whatsapp. Diawali dengan kalimat hidup itu saling menatap. Meski Anda merasa dalam hidup tak ada yang bisa dibanggakan, jangan salah, ada kok orang lain yang iri dengan Anda. Anda hanya penjual kerupuk keliling bisa menuntaskan kuliah anak-anak Anda, Anda yang pemulung bisa menyisakan recehan untuk ongkos naik haji, Anda yang merasa bisa mencari rezeki habis untuk satu hari ternyata menjadi pahlawan keluarga dan dengan bersyukur ternyata dicukupkan, Anda yang hanya lulusan sekolah dasar bisa mengelola usaha sederhana yang cukup dikenal. Mengapa, karena itulah hidup.

Foto:image.freepikdotcom
Anda menatap seseorang, orang lain menatap Anda. Dan betapa lucunya andai kalimat terakhir, yakni dikira gila ternyata memang gila hehehe. Anda yang terpana dengan seseorang yang setiap pagi selalu berpenampilan rapi, nenenteng tas, bersepatu mengkilap, rambut klimis, berjalan ke arah sebuah kantor perusahaan swasta di tepi jalan protokol. Anda yang sarjana, sudah berhari-hari mencari pekerjaan namun ditolak sana-sini, pikiran melantur ke mana-mana. Membayangkan bisa bekerja seperti orang itu, ah sedapnya.

Yakin selalu ada keajaiban, Anda akhirnya menyapa orang itu ketika berhenti sejenak di bawah pohon yang dekat dengan kantor perusahaan tadi. Berniat bertanya apakah masih ada lowongan. Dan nasib baik, orang itu melayani Anda dengan senyuman lalu membuka tasnya. Isinya setumpuk kertas kosong. Ah, mungkin ia ingin menuliskan lowongan atau memberikan nomor yang bisa membantu Anda bekerja di kantor yang sama.

Saat orang itu kembali tersenyum menatap Anda, harapan Anda semakin tinggi. Namun tiba-tiba seorang satpam di kantor itu mendekat dan bertanya apa yang Anda lakukan.

"Maaf, Mas, orang ini gila sejak kematian istrinya tiga bulan silam. Dulu memang bekerja di kantor ini, sekarang sudah dikeluarkan. Tiap hari ia seperti ini, kadang saya kasih minum di pos jaga lalu menyuruhnya pulang. Kasihan, Mas," jelas satpam panjang lebar.

Pertanyaanku, masih lebih beruntung Anda, kan? Meski hari ini belum kerja, siapa tahu besok ada tempat yang lebih bagus dari orang tadi. Tetapi pesanku, Anda jangan ikutan gila.

Post a Comment for "Disangka Gila, Ternyata Gila Beneran"