Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ketika Para Lelaki Pamerkan Burungnya

Ini temanya tentang lelaki, namun boleh dibaca oleh semua orang. Ini tulisan tentang semangat, perjuangan, pengorbanan hanya untuk memuaskan hobi. Dan memang harus diakui kadang hobi itu mahal. Terkesan lebih mahal bagi orang lain yang tidak sehobi, padahal bagi penghobi burung apa yang dikeluarkannya tetap membuatnya woles (baca selow, sederhanakan menjadi slow).

Burung para lelaki di atas kapal roro untuk ikut kontes.
Tak semua lelaki bisa menjalani hobi ini. F-dhewe
Ahad, 19 November kemarin, aku ke Batam. Seperti biasa moda transportasi yang kupilih adalah kapal Roro. Untuk sampai ke Pelabuhan ASDP Tanjunguban, Bintan, dari Tanjungpinang aku harus pagi-pagi. Biasanya sehabis mengantar anak sekolah langsung memainkan gas agar bisa naik kapal dengan jadwal keberangkatan kedua. Jarak 60-an kilometer melewati Jalan Lintas Barat masih sepi, apalagi hari libur. Jika berjumpa kendaraan lain satu arah, bisa jadi menuju perjalanan yang sama.

Masih pagi, belum pukul 09.00 ketika akhirnya aku naik ke kapal. Kendaraan sengaja aku tinggal di pelabuhan karena tidak membawa barang yang berat dan banyak dari Batam. Masukkan tas punggung bisa. Yah, lumayanlah mengirit ongkos penyeberangannya. Kalau hanya badan cukup dengan Rp20.000 satu kali jalan. Lagian aku juga berangkat sendirian, mengikuti kelok jalan tanpa teman.

Ngobrol soal burung agaknya menyenangkan, tambah kawan
dalam perjalanan. F-dhewe
Di atas kapal roro ya seperti itu. Ada yang memilih tempat duduk berupa ranjang luas satu tingkat, silakan pilih mau di bawah atau di atas. Yang memilih duduk di kursi juga tak sedikit. Sementara ini belum menggunakan sistem nomor tiket dan nomor kursi harus sesuai, jadi silakan ambil tempat duduk yang menurut Anda menyenangkan. Yang membedakan hanya kehadiran para lelaki yang tampak menonjol karena beberapa mengenakan kaos tanpa kerah dengan warna dan tulisan sama.

Bukan kaosnya yang bikin penesaran, namun benda berbentuk bulat dengan bagian atasnya lonjong ditutup kain dengan corak, warna yang berbeda. Para lelaki itu menentengnya dengan satu tangan. Terlihat bagaimana mereka cukup hati-hati membawa benda tersebut. Di atas kapal, rombongan ini memecahkan diri. Ada yang menaruh barangnya tadi di sudut tempat duduk berbentuk ranjang, lainnya di sudut yang lain.


Aku yang duduk di lantai satu tempat duduk ranjang melihat dengan jelas para lelaki itu berbincang ramai. Ada kegembiraan di wajah mereka, karena bisa membawa burungnya menyeberang lautan untuk mengadu nyali. Sejauh mana keberhasilan para lelaki tadi melatih dan mengasah kemampuan burungnya masing-masing. Akahkah yang dilatih dengan penuh kesabaran itu akan gagah di tanah seberang? Lalu pulang ke Pulau Bintan dengan gelar juara.

Lelaki menenteng burungnya meninggalkan Pelabuhan Roro
Telaga Punggur, Batam. F-dhewe
Kicauan burung-burung di atas kapal roro membuat suasana meriah. Setiap kali ada yang berkicau, beberapa penumpang menoleh, mencoba mencari kira-kira burung para lelaki yang mana barusan bersuara. Aasyiknya lagi jika kicauan satu burung usai disambut kicauan burung lainnya. Tak ayal, sejumlah penumpang pun ikut nimbrung dengan kelompok lelaki penghobi burung.

Di tengah para penumpang kapal roro, beberapa ekor burung mendapatkan jatah makannya. Kulihat ada yang memotong jagung lalu memberikannya kepada temannya. Lantas mereka menarik resliting kain penutup sangkar burung, lalu menyingkap sebagian kainnya sehingga si burung tampak. Melihat tuannya membawakan makanan, hewan kecil yang lincah itu pun mendekati ujung jari dan mengambil makanan itu dengan paruhnya.

Turun kapal, aku memotong jalan dari pintu keluar lurus, menaiki tangga hingga sampai ke gerbang pemeriksaan dan pembelian tiket. Rupanya di bawah gapura pintu masuk dan keluar Pelabuhan ASDP Telaga Punggur, Batam, pun kulihat beberapa lelaki juga menenteng burungnya. Dari jawaban seorang penghobi burung, hari itu memang ada kontes burung di Shangrila, Sei Harapan atau Sekupang. Para lelaki yang satu kapal ada yang dari Tanjungpinang juga Bintan.

Calon indukan ini dibeli Rp500.000. F-dhewe.
Saat rombongan para penghobi burung mulai sepi, lantaran setiap rombongan ada yang menjemput. Aku menunggu teman yang biasa menemani perjalananku ke Batam jika tidak membawa kendaraan sendiri. Aku duduk di bawah tiang pagar gapura yang teduh oleh atap dan rimbun pohon di kanan kiri jalan. Kulihat seorang lelaki duduk di dekatkua sambil memainkan jari jari tangannya di ponsel. Tak berapa lama datang seorang lelaki bercelana pendek, mengendarai sepeda motor sambil menenteng.... sangkar burung. Hari itu benar-benar perjalananku ditemani para burung.

Aku mendekat. Si lelaki yang baru datang membuka penutup sangkar burungnya dan tampak seekor love bird (kata yang sedang duduk menanti begitu namanya) dengan warna bulu didominasi hijau, ada paduan kuning dan merah atau oranye muda. Dengan satu tangan masuk ke sangkar mengambil burung itu, lelaki yang tadi asyik main hp mengeluarkan toples plastik yang tutupnya diganti kawat kasa yang bentuknya kotak-kotak kecil yang dibuatkan pengunci. Begitu burung masuk ke sangkar barunya untuk sementara waktu, hanya dalam perjalanan balik, tuan barunya menutup bagian atas toples.

Sangkar burung milik teman SMP di teras
rumahnya. F-dok pribadi.
"Mau saya jadikan indukan, Mas," kata warga Tanjungpinang yang tinggal di Gesek ini.

Sebenarnya, kata dia, ada satu orang lagi yang ia tunggu. Juga urusan burung. Namun yang datang hanya satu. Jadi setelah mendapatkan burungnya, ia akan langsung balik ke Pulau Bintan dengan kapal roro yang saat itu tengah persiapan menaikkan penumpang dan kendaraan dari Punggur, Batam, ke Tanjunguban, Bintan.

Sambil menunggu bel kapal dibunyikan tanda akan segera berangkat, aku bertanya seputar burung. Kayaknya mengurus burung yang di dalam sangkar lebih sulit. Harus tahu ilmunya. Narasumberku ini mengaku sudah beberapa kali menjual burung pekicau. Dijelaskannya, love bird termasuk jenis burung yang sangat memilih pasangannya. Belum tentu saat pejantan didekatkan dengan betina bisa langsung menyukai. Perlu proses dan kesabaran agar bisa terbentuk pasangan love bird.

Ia mengaku membeli seekor love bird Rp500.000. Nilai itu, tambah dia, jauh lebih kecil dibandingkan burung pemenang kontes, bisa puluhan juta. "Di Batam sudah ada yang seharga itu, Mas. Wajar karena setiap lomba ia bisa menghasilkan hadiah dari beberapa kategori yang diikutinya," jelas narasumberku.

Salah satu foto yang dikirimkan teman SMP
di GRUP WA. F-dok pribadi.
Soal hobi, ia juga mengakui kadang tak segan mengeluarkan uang lebih untuk membeli calon indukan atau bibit burung yang diprediksinya bakal memiliki mental juara. Lajang berdarah Jawa ini kadang kecewa mendengar komentar tentang para hobiis. Tidak semuanya mendapat dukungan anggota keluarganya, juga teman dan orang terdekatnya. Ada hobi yang bisa langsung mendapatkan hasil lebih cepat, misalnya tukang rakit komputer, kemungkinan laku lebih cepet. Namun jika menyiapkan seekor burung agar mentalnya jadi, dibutuhkan bulanan waktu. Dan ada makanan serta kebutuhan lain yang harus dibeli selama burung belum jadi dan belum ada yang membelinya.

"Kalau hobinya positif ya dukunglah, kalau negatif diingatkan," pesannya.

Lalu kami berpisah, ia balik ke Tanjungpinang, aku membeli sedikit sesuatu setelah temanku datang menjemput. Sebelum pukul 17.00 aku sudah harus sampai lagi ke Tanjunguban, karena barang yang kuibeli akan dipakai malamnya.

***

Selepas Isya, aku membuka WA Grup teman-teman SMP. Dan.... lha kok sedang ramai komentar masalah burung. Saling upload foto sangkar burung. Ada yang pamer sangkar burung di teras rumahnya, ada yang mengirimkan foto anak perempuannya membantu memberi makan burung di sangkar.

Benar-benar hari burung bagiku, sementara aku memang kurang paham soal burung. Mohon jangan tanyakan soal kata yang sama namun dengan bentuk dan arti yang berbeda.

2 comments for "Ketika Para Lelaki Pamerkan Burungnya"