Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Belajar Hidup dari Petugas Kebersihan Masjid

Masjid Raya Nur Ilahi, Dompak, siapa pun akan mengakui kemegahannya. Dibangun di atas bukit, di sebuah pulau yang awalnya sepi oleh aktivitas. Hanya kegiatan alami penduduk lokal. Kini Masjid Raya Nur Ilahi dikembangkan sebagai salah satu ikon Kepri, dan pembangunannya terus berlangsung bahkan hingga hari ini. Tahukah Anda kemegahan masjid ini tak semegah kehidupan para petugas kebersihannya?

Kebersihan sebagian dari iman. F-lambe.
Di masjid ini, ada sedikitnya 18 orang yang bertanggung jawab, terdiri dari 6 tenaga pengamanan, 6 petugas kebersihan dan 6 petugas di sekretariat masjid. Karena berada dalam satu gedung, mereka bertemu setiap hari, mendekatkan kekeluargaan. Yang aku tahu, setiap pukul 07.00 pasti sudah berlangsung aktivitas bersih-bersih di masjid ini.

Mulai yang membersihkan lantai pintu masuk, ruangan wudu, lantai teras hingga lantai dalam yang cukup luas. Sementara yang lain menyiangi rumput atau menanamnya di tanah yang butuh warna hijau alam. Untuk berkomunikasi, karena jaraknya, kadang antara petugas menggunakan panggilan keras. Suaranya menggema, menembus dinding masjid yang hawanya sejuk meski cuaca terik.

Tak ada yang malas-malasan di mataku. Semuanya mengerjakan tugasnya dengan senang hati. Petugas kebersihan yang mendapatkan bagian lantai pintu masuk serta halaman mengatakan, menjadi petugas kebersihan masjid adalah kata hati. Yang pertama, bukan semata masalah materi atau gaji. Namun lebih sederhana dari uang, karena tak perlu dicari. yaitu ketenangan diri. Jika melakukan pekerjaannya ikhlas, ia merasakan ketenangan hatinya yang luar biasa. Dan ia merasakan itulah nikmat hidup.

Jiwa tenang, kerja senang. F-lambe.
"Lantai ini dipakai dan dilewati jamaah, bukankah kalau bersih orang juga senang?" katanya, kemarin pagi, saat berbincang denganku sambil menyelesaikan pekerjaannya. Sapu di tangan kanan dan tempat sampah di tangan kiri.

Di masjid, lanjut lelaki yang selalu menyapaku dengan salam setiap kali aku datang ini, ada banyak ketenangan. Tempatnya saja sudah membuatnya merasa tenang, dengan angin yang tiada pernah mati berhembus. Saat panggilan azan, suara muadzin terdengar begitu menggugah hatinya. Dilanjutkan iqamat, menambah ketentraman jiwanya. Sepanjang hari, jika mau bersyukur, tempat ini dipenuhi ketenangan.

Demikianlah, jika saatnya salat zuhur dan ashar, para petugas pun bergegas untuk salat berjamaah. Yang pakaiannya kotor oleh tanah menggantinya di kamar mandi yang bersih. Saat bersama-sama ruku dan sujud, tak ada perbedaan antara mereka yang petugas kebersihan, warga yang kebetulan melintas atau pegawai negeri biasa dan mereka yang sudah mengantongi eselon. Berbaris di atas karpet hijau tua, berhadapan dengan dinding tinggi dipenuhi ornamen dan kaligrafi islam. Suara imam terdengar sangat jelas di tingkah burung-burung kecil yang melayang di atap masjid.


Masjid juga perlu suasana hijau. F-lambe.
Seorang petugas kebersihan lain, yang tugasnya membersihkan karpet masjid dengan vacum cleaner memberikan keterangan yang tak jau berbeda. Ia menceritakan, ada temannya warga Pangkil, sekarang menjadi pegawai di sebuah kantor di Kota Tanjungpinang, saat hidupnya tengah dilanda kesulitan memilih menjadi petugas masjid. Dan kisah temannya itu menginspirasi dirinya. Meski ia bukan pegawai, namun dari gajinya sebagai petugas masjid ia merasa dicukupkan.

"Bekerja di masjid itu keuntungannya selalu salat berjamaah. Kalau ada yang tinggal di masjid kok tak ikut sembahyang jamaah ya rugi," ungkap lelaki yang tinggal di sekitar masjid.

Ia juga mengingatkanku akan beberapa orang sukses yang mengawali hidupnya sebagai marbot. Dan ia juga mendengar kabar tentang Diar Budi Utama, lulusan terbaik pertama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dengan IPK 3,85.

Bersihkan lantai masjid, bersihkan hati. F-lambe.
"Saya melihatnya di televisi. Saya meyakini semua bisa dikabulkan Allah di rumah-Nya, masjid," imbuhnya.

Anda mungkin kalah informasi dibandingkan petugas kebersihan atau marbot Masjid Nur Ilahi ini? Berikut aku lengkapi tulisanku tentang Diar Budi Utama. Seperti ditulis jateng.tribunnewsdotcom, Diar lahir di Tasikmalaya, 28 Oktober 1994, merupakan alumnus Jurusan Ilmu Administrasi Negara angkatan 2013.

Putra pasangan Maman Ruhaendi dan Apong Sumarni itu selama merantau di Banyumas tinggal di Masjid Al Fattaah, Perumahan Sumampir, Purwokerto Utara. Keputusan Diar menetap di masjid bukan tanpa alasan. Keluarganyalah yang mendorongnya tinggal di lingkungan sekitar rumah ibadah.
Dengan menetap di masjid, dia bisa menjaga perilaku dan terhindar dari pergaulan bebas.

Masjid tak hanya dia manfaatkan beribadah dan menimba ilmu agama. Suasana tenang memberinya kenyamanan dalam memperdalam ilmu pengetahuan yang diperoleh di kampus. Masjid juga menjadi sarana strategis baginya dalam pengembangan diri atau karakter.

Mengibarkan merah putih di halaman masjid. F-lambe.
Di situ, dia bisa berinteraksi sosial dengan jemaah lain sehingga jiwa sosialnya terbentuk. "Saya berkeyakinan, jika kita mau menjaga rumah Allah, Allah akan balik menjaga kita," kata Diar.

Prestasi itu datang secara instan. Status marbot membuatnya memikul tanggung jawab besar untuk memakmurkan masjid. Di sisi lain, dia menghadapi jadwal kuliah yang padat. Diar pun harus pandai membagi waktu agar setiap kewajibannya tak terbengkalai. Karena waktu amat berharga, Diar mengagendakan setiap kegiatan dengan mencatatnya di buku kecil setiap hari.

Dia juga menerapkan target yang harus ia capai dalam sehari. Cara ini membuatnya tak merasa keteteran meski kegiatannya padat, mulai dari berkegiatan di masjid, berinteraksi sosial,  berorganisasi hingga kuliah. Disiplin waktu yang diterapkan membuat hidupnya terarah.

"Butuh target dan strategi mencapai apa yang diinginkan. Butuh komitmen kuat, kerja keras dibarengi doa dan tawakal kepada Allah," lanjutnya.

Diar Budi Utama di depan masjid yang diajaganya
selama ini. Foto-jateng.tribunnewsdotcom
Terbukti sejak kuliah pada 2013 silam, prestasi demi prestasi dia toreh. Puncaknya menjadi lulusan terbaik FISIP Unsoed periode September 2017 dengan predikat cumlaude di antara 179 wisudawan lain. Pada acara yudisium dan pembekalan wisudawan FISIP Unsoed ke-97, Rabu siang, Diar dipercaya mewakili para lulusan memberi sambutan di atas mimbar.

"Kita terlahir dari kampus dengan nama besar Jenderal Soedirman yang perlu kita contoh nilai-nilai luhur beliau, yakni kegigihan, jujur, dan pantang menyerah. Itu yang kita tanamkan pada kehidupan sehari-hari. Sehingga selain kompetensi akademik yang baik, kita akan memiliki nilai akhlak mulia yang dicontohkan Panglima Besar Jenderal Soedirman," tegasnya.

Diar tercatat sebagai penerima beasiswa PPA dari Kemenristek Dikti dari awal semester hingga lulus.
Pencapaian lain adalah finalis Mahasiswa Berprestasi FISIP Unsoed 2016, co-trainer Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa (LKMM), dan co-trainer Pengembangan Karakter Kepribadian Mahasiswa (PKKM).

Ia juga peraih award Unsoed penelitian terbaik bersama tim HMJ Administrasi Negara dengan tema Reformasi Birokrasi. Kemudian menjadi delegasi terbaik dalam kegiatan Temu Administrator Muda Indonesia 2016 yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tugas mengurus masjid tak menjadi penghalang bagi Diar dalam mengembangkan potensi dan kerja sama tim.

Pria yang hobi olahraga ini juga aktif dalam beberapa organisasi di kampus, di antaranya UKM UKI FISIP, HMJ Administrasi Negara, UKKI Unsoed, UKM Bola Voli fakultas dan universitas serta pengurus paguyuban Keluarga Mahasiswa Tasikmalaya (KMT).

***

Aku percaya, pagi-pagi berikutnya, aku akan selalu melihat wajah-wajah ceria sedang membersihkan rumput, mengepel lantai, membersihkan bak air di Masjid Raya Nur Ilahi. Kotor pakaian mereka, namun bersih pola pikir mereka. Sederhana, menjaga Rumah Allah.

Post a Comment for "Belajar Hidup dari Petugas Kebersihan Masjid"