Hutan Menipis, Pipa PDAM Hanya Mendesis
![]() | ||
Sumur umum Perum Lembah Hijau. Foto Nurali M |
Memang, rumah yang jumlahnya tak lebih dari 100 unit dengan dua tipe, 45 dan 38 ini akhirnya laris manis. Namun ketika sumur ternyata hanya menjadi pajangan, kekecewaan akhirnya muncul. Beruntung pengembang bersedia mencarikan solusinya. Dibuatlah tujuh sumur baru di ujung jalan. Dipilih lokasi yang bagus agar sumber air mengisi sumur. Edi dan warga lain yang sumur rumahnya tak berfungsi pun memanfaatkan fasilitas tersebut.
Tujuh sumur untuk puluhan warga jelas tak cukup. Begitu selesai dibangun, sumur umum di perumahan ini menjadi rebutan. Pipa air dipasang tumpang tindih. Bahkan ada yang sengaja memasang mesin pompa air di lokasi sumur umum. Ada yang di atas tanah, ada yang digantung di dinding bagian atas sumur yang dalamnya kira-kira empat meter. Cekcok mulut juga kerap terjadi antar warga. Meski tujuh sumur umum letaknya berdekatan, namun volume airnya berbeda-beda. Potong-memotong pipa sudah menjadi kegiatan rutin di tempat ini. Bahkan ada yang salah memotong pipa milik tetangganya. Tetapi paling tidak Edi sudah mendapatkan air meski harus berbagi dengan beberapa tetangganya.
Ali, warga Tanjungayun Sakti, Jalan Haji Ungar Lorong Belitung juga pusing karena air. Sumur yang dibangun pemilik rumah yang dikontraknya per bulan Rp7 juta di belakang rumah sama sekali tak mampu terisi air. Jika musim hujan bisalah ia berlega hati sesaat. Namun hujan di daerah kepulauan ini sangat tak pasti. Rumah kontrakan ini bukan tak ada pipa air PDAM Tirta Kepri, perusahaan air bersih yang dikelola pemerintah daerah setempat. Air seharusnya juga mengalir dua hari sekali, karena seperti itulah cara PDAM membagi air.
Namun nasib Ali kurang beruntung. Rumahnya berada di bagian belakang. Ia nyaris tak pernah kebagian air. Karena air dialirkan malam hari, awalnya ia sengaja menunggu sampai jam 24.00 WIB. Saat keran pipa dibuka, yang terdengar hanya suara mendesis. Tak ingin hidup tanpa air, ia berusaha mencari tahu apakah tetangganya juga mengalami hal serupa.
Rupanya mereka yang tinggal di depan menyedot air saat mengalir dengan pompa besar. Tabung penampung air juga tak hanya satu. Ali pun mengikuti hal itu. Saat pompa air dipasang, ia menyalakannya saat giliran air dialirkan PDAM. Lumayan baginya, meski harus menunggu tiga jam untuk memenuhi bak mandi berukuran 1 x 1 meter dengan tinggi 1 meter juga.
Dan bukan rahasia lagi jika pertikaian kerap terjadi antar warga. Ada rumah yang mendapatkan air dengan cara matia-matian sehingga harus berhemat, sementara itu ada yang mencuci motor dan mobilnya dengan selang di depan rumah mereka. Tentu bukanlah soal kaya miskin yang dipersoalkan, penggunaan air yang seakan tak memedulikan kondisi tetangganya.
Edi dan Ali termasuk warga Tanjungpinang yang beruntung meski harus bersusah-payah mendapatkan air bersih. Jais Anggara, warga Perumahan Hang Tuah Permai, Batu 12, justru sudah melupakan keran air PDAM-nya. Sudah hampir tiga tahun ia tinggal bersama istri dan seorang anak lelakinya di sini, bisa dihitung dengan jari berapa kali ia bisa mendengar air mengucur dari keran. Padahal lokasi permukiman yang ditempatinya hanya berjarak lima kilometer dari Dam Sungai Pulai, waduk yang menjadi satu-satunya andalan PDAM Tirta Kepri. Dari pemilik rumah yang dibelinya, Alim, yang kini pindah ke Batam, Jais diberitahu rumah itu sudah 14 tahun dibangun pengembang dan selama itu juga keran air PDAM hanya pelengkap penderita. Waktu membelinya, dasar Jais hanya satu: daripada mengontrak, lebih baik membeli rumah meski dicicil. Ia berharap beberapa bulan setelah menempatinya air PDAM akan lancar. Ternyata hanya mengeluarkan suara angin.
Empat sampai lima haris sekali ia harus membeli air dari truk tangki, per kubik Rp40.000. Sedangkan untuk minum dan memasak, ia harus berlangganan air galon isi ulang Rp4.500 per galon. Pengecer koran ini harus bekerja keras mencukupi kebutuhan keluarganya, dan pos anggaran untuk air bisa menjadi pos terbesar setiap bulan. Beruntung istrinya juga bekerja di sebuah kios pusat kota.
Air menjadi kebutuhan pokok, termasuk bagi Kherjuli. Ketua LSAM Air, Lingkungan dan Manusia (Alim) Tanjungpinang yang tinggal di Jalan Nuri, Kampung Mekar Jaya, Batu 7. Ia begitu sering menyuarakan persoalan air di berbagai media dan gerakan sosial lain, namun rumahnya pun tak terjangkau PDAM.
Menurut Kherjuli, kebanyakan sumur warga di Kampung Mekar Jaya ini nyaris hanya berfungsi sebagai sumur tadah hujan. Dua minggu saja tak turun hujan, warga harus membeli air dari truk tangki air. Sudah menjadi pemandangan biasa saat hujan tak turun warga Mekar Jaya menumpang mandi di rumah saudara, kerabat atau temannya di daerah lain. Karena tak semua warga mampu membeli air dari truk tangki.
***
Pulau Bintan memang dikaruniai sumber daya alam berupa bauksit. Sayang, manusia bertindak tanpa aturan. Hampir semua lahan yang belum berpenghuni ditambang. Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Bintan, Ir Karya Harmawan, beberapa waktu lalu mengatakan, kalau saja sejumlah bangunan di Tanjungpinang belum berdiri, mungkin sudah ditambang. Karena tanahnya mengandung banyak bauksit .
Bicara bauksit, nama Pulau Bintan bahkan sudah masuk ke dalam buku Geografi pada zaman dulu. Dari berbagai referensi yang ditemukan di Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Kepri, dicatat bahwa bauksit pertama ditemukan di Kijang tahun 1924 oleh perusahaan Belanda bernama NV Nederlansch Indische Bauxiet Exploitatie Maatschapij (NV NIBEM). Namun hanya sebentar, mulai tahun 1935 hingga 1942.
Ketika Jepang datang, NV NIBEM diambil alih oleh Furukawa Co Ltd, sampai tahun 1945. Setelah Indonesia merdeka, bauksit pindah tangan ke Pemerintah Republik Indonesia, mulai tahun 1959 yang dikelola PT Pertambangan Bauksit Indonesia (Perbaki). Tahun 1968 Perbaki dilebur menjadi PN Pertambangan Bauksit Indonesia yang berada di lingkungan BPU Pertambun dan namanya diubah menjadi PN Aneka Tambang (Persero) yang kemudian menjadi PT Aneka Tambang Unit Kijang hingga saat ini.
Kandungan bauksit merata di pulau yang dibagi menjadi wilayah Pemko Tanjungpinang, Pemkab Bintan dan Pemprov Kepri ini. Di Kecamatan Bintan Timur saja, potensi bauksit diperkirakan memakan luas 10.450 hektare dengan jumlah candangan bauksit mencapai 209 juta meter kubik.
Sejak tahun 2002-2003, monopoli tak lagi berlangsung. Pihak swasta dibolehkan mengelolah bauksit di beberapa wilayah yang belum digarap. Sejak itulah ekplorasi besar-besaran dilakukan, termasuk di Kota Tanjungpinang, seperti di Dompak dan Senggarang. Padahal Dompak saat ini merupakan pusat pemerintahan Pemprov Kepri dan Senggarang pusat pemerintah Kota Tanjungpinang.
Bauksit dengan kadar Al di atas 52 dan Si di bawah 10 pernah menembus angka 24 dolar AS per tonnya. Namun sejak harga pasaran dunia anjlok, terutama setelah taipan krisis global melanda, harganya turun drastis berkisar 14 sampai 18 dolar AS. Sekali mengirim bauksit ke luar negeri bisa sampai 100 ton, tergantung kapasitas kapal pengangkutnya. Bila harga bauksit per ton tembus 24 dolar AS, dengan asumsi satu dolar AS nilainya Rp10.000, sekali ekspor 100 ton pengusaha bisa mendapatkan uang Rp24 miliar.
Hutan pun dikorbankan demi uang. Parah, kawasan dekat Dam Sungai Pulai pun tak luput dari kerusakan. Data 2012, lebih 60 persen hutan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Sei Pulai lenyap hingga menyisakan 4,65 persen dari luas 65,97 hektar pada tahun 2003 lalu. Dikarenakan kawasan tersebut telah berubah fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa Sawit, perladangan dan sebagian dijadikan tempat tinggal oleh masyarakat.
Dari beberapa kajian yang dilakukan BLH Kepri terhadap DAS Dam Sei Pulai, luas hutannya telah berkurang secara drastis antara tahun 1990 sampai tahun 2003, yaitu dari 65,97 persen menjadi 4,65 persen dari seluruh DAS Sei Pulai. Meskipun pada tahun 2007 luas hutan meningkat menjadi 9,15 persen, peningkatan tersebut tidak terlalu berarti.
Pada 2012 juga, tim terpadu Kementerian Kehutanan RI yang dipimpin Prof Tukirin, bersama Prof Sambas Basuni serta Ir Imam, meninjau lokasi hutan lindung yang berada di Dam Sungai Pulai. Tim tersebut turun untuk meninjau langsung sejumlah area hutan lindung yang beralih jadi pemukiman warga.
Tim terpadu turun untuk meninjau kondisi hutan lindung di Sungai Pulai yang merupakan sumber serapan air untuk ketersediaan waduk tersebut. Sementara saat itu lokasi tersebut telah banyak dimanfaatkan warga untuk jadi daerah pemukiman yang jaraknya hanya 80 meter dari Dam.
***
Pihak PDAM Tirta Kepri untuk saat ini tak mampu berbuat banyak. Bersama Pemprov dan Pemkab Bintan, sedang dibangun Dam Gesek. Menurut Direktur PDAM Tirta Kepri, Abdul Kholik, saat ini masih ada 4.000 daftar tunggu pelanggan air yang belum bisa dipenuhi.
Dam Sei Gesek diprediksi bisa melayani kebutuhan air bersih untuk seluruh masyarakat Tanjungpinang. Menurut kajian, waduk ini mampu melayani 7-8 ribu ribu sambungan baru. Dan, hal itu akan menjawab kebutuhan air bersih warga Tanjungpinang dan Bintan. Tahun ini pembangunannya diharapkan rampung.
Begitu Dam Sungai Gesek beroperasi, suplai air dari Dam Sei Pulai akan difokuskan mulai dari arah waduk hingga wilayah Kota Tanjungpinang. Hal ini dilakukan, sebab kemampuan suplai air dari waduk Gesek sampai Bintan Center yang mencapai jarak 11 kilometer diprediksi lebih baik jika hanya disalurkan untuk wilayah Bintan Center dan sekitarnya. Suplai air akan dibagi dua, Waduk Gesek untuk Bintan Center dan sekitarnya sedangkan Seipulai sampai daerah kota.
Ada beberapa wilayah Tanjungpinang yang memang tidak lancar teraliri air PDAM. Yakni wilayah Perumahan Hang Tuah Permai, Perum Lembah Asri, Komplek Polri, Jalan Peralatan Batu 7, Jalan RE Martadinata, Perum Permata Karisma, Jalan Rawasari, Jalan Brigjen Katamso dan Jalan Bayangkara. Sementara daerah Jalan Ketapang Bakar Batu, Perumnas Seijang, dan beberapa lokasi lainnya masuk dalam kelompok wilayah yang kurang lancar.
***
Berbagai upaya dilakukan untuk menghijaukan hutan di Pulau Bintan. Yang sangat lumrah ialah penanaman pohon. Kegiatan ini sudah begitu sering dilakukan, baik oleh instansi swasta, pemerintah maupun kelompok masyarakat. Pemerintah akan dengan mudah bisa menyediakan bibit pohon jika ada kelompok warga yang ingin melakukan penghijauan.
Namun diantara upaya penyelamatan Dam Sungai Pulai yang menarik dilakukan oleh LSM Alim. Sejak tahun 2010 silam, LSM ini menyelenggarakan Kenduri Air. Kegiatannya berupa berdoa bersama untuk kelangsungan hidup Dam Sei Pulai serta menyadarkan diri kepada warga bahwa air juga butuh diperhatikan. Butuh kearifan manusia terhadap air.
Bahkan pada tahun itu, dibentuklah Laskar Air. Anggotanya warga yang bersedia aktif memantau kondisi hutan di sekitar Waduk Sungai Pulai. Mereka bersifat sukarelawan. Pada tahun 2010, Kenduri Air dilaksanakan di bukti, di atas lokasi Dam Sungai Pulai berada. Ratusan undangan, baik pejabat maupun warga biasa, berdoa bersama, mengumandangkan doa-doa suci.
Pada tahun 2011, Kenduri air kembali mengadakan Kenduri Air di Pondok Pesantren Ceruk Ijuk Kabupaten Bintan. Agenda tahunan yang dilakukan para aktivis air itu bertujuan untuk mengingatkan kembali semua pihak. Bahwa air adalah karunia Tuhan yang memberikan manfaat kesejahteraan bagi semua orang dalam segala bidang.
Agenda Kenduri Air ini tercatat resmi pada even air international Un-Water dengan nama Pray For Water. Gerakan ini dilakukan sebagai kearifan lokal masyarakat Kepri dalam menata dan mengelola air sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan.
Kenduri air selalu didatangi warga yang berharap debit air Dam Sungai Pulai bisa tetap diandalkan. Seperti penelitian Masaro Amoto dari Jepang yang melakukan riset perilaku air. Saat air diperlakukan baik, molekul yang tampak di bawah kaca mikroskop ialah keindahan. Dan sebaliknya, jika tidak diperlakukan dengan baik, akan berubah warna menjadi kusam.
***
Post a Comment for "Hutan Menipis, Pipa PDAM Hanya Mendesis"