Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sepotong Nyawa di Tengah Ramainya Lalu Lintas

Ilustrasi nurali mahmudi
Minggu pagi lalu, di jalan menanjakn mendekati Bundaran Dompak, Batu 8, tepatnya di depan ruko pangkas rambut, saya melambat dengan sepeda motor. Sudah menjadi kebiasaan, seminggu sekali, Minggu pagi, saya menyempatkan diri untuk lari-lari di Jembatan Dompak, depan Ramayana, Tanjungpinang.

Jalanan kala itu sudah mulai ramai. Saat mendekati tanjakan, saya lihat seekor kucing di tengah jalan. Posisinya terduduk namun tak sempurna. Tubuh dan kepalanya ditopang kedua kaki depan, sementara kedua kaki belakangnya lunglai. Dalam kondisi normal, pasti kucing ini berlari.

Soalnya saya kok belum pernah dengar ada kucing yang hobinya menonton ramainya lalu lintas. Menontonnya dari langsung tengah arena pula. Kalau dari teras rumah majikannya, mungkin iya. Yang pasti kucing dengan warna tubuh didominasi putih pucat itu tengah membutuhkan pertolongan.

Meski tak mendengar, karena bisingnya mesin kendaraan yang lalu lalang, namun mulutnya terbuka setiap saat. Saya tak tahu pasti, apa penyebabnya. Naluri hewan biasanya sama, akan berusaha untuk menyelamatkan diri jika merasa nyawanya terancam.

Jarak saya dengan kucing semakin dekat, saya coba lirik kaca spion kanan sepeda motor saya. Ugh, padatnya. Sebenarnya ingin turun, lalu memindahkan kucing malang tadi ke tepi jalan. Selanjutnya biarlah Tuhan yang menentukan jalan hidupnya. Sebab, seandainya kaki belakangnya luka parah, paling juga saya kasih obat merah.

Lalu kucing itu pun terlewati roda depan motor saya. Entah berapa detik kemudian, ganti terlewati roda belakang motor saya. Alhamdulillah, dari kaca spion saya melihat ada pengendara mobil yang menghentikan kendaraannya.


Pelan-pelan saya melaju, dan masih sempat melihat mobil yang berhenti di tengah jalan itu berjalan kembali. Doa saya hanya satu, semoga ada pengendara jalan, atau siapa pun itu, yang menolong kucing tadi.

Dalam perjalanan menuju rumah yang masih kira-kira 4 kilometer lagi, getaran roda motor menyentakkan otak waras saya. Bukannya kalau kucing itu terluka di tengah jalan ada kemungkinan hewan berkaki empat itu menyeberang jalan? Kalau hewan tentu beda dengan manusia, kaum hewan cenderung kurang hati-hati.

Berarti bukan salah manusia kalau ia terlanggar. Lha itu jalan raya, tak ada rambu penyeberangan kucing. Siapa saja pemilik kendaraan boleh melewatinya. Namun ketika kemudian malaikat di hati saya berkata, bukan soal benar salah yang harus dicermati.

Lebih jauh, yaktu kehidupan.

Mahluk hidup berhak menikmati kehidupan, termasuk kucing tadi. Saya tak pernah tahu, kucing tadi di dalam negara kucing siapa namanya, masih lajang atau sudah berkeluarga, siapa pasangannya, dari keluarga kucing mana. Atau yang lebih pas, pertanyaannya, sebenarnya apa yang dilakukannya di tengah jalan raya itu.

Itu bukan jalan sempit, melainkan jalan lebar. Kalau saja kucing itu akan pulang ke rumahnya, untuk memberi makan anak-anaknya, tentu kemalangannya di tengah jalan membuat keluarganya resah.

Saya lantas teringat beberapa kejadian yang terjadi di depan mata. Saat ada kecelakaan lalulintas dan menyebabkan nyawa manusia seolah tiada harganya, saya bisa turun, menolong korban, namun sering juga melihat ah sudah banyak warga di lokasi, dan saya memilih untuk pergi saja.

Ah, kecelakaan yang menimpa manusia saja kadang saya cuekin, lha ini hanya kucing kok membuat saya berpikir. Betapa seringnya ada kucing milik tetangga yang tiba-tiba mencuri lauk di atas meja dapur. Atau betapa marahnya kita saat tengah istirahat tiba tiba ada kucing kawin. Wadeew, berisiknya minta ampun.

Sahabat lambenjeplak, mungkin tak ada salahnya mengingatkan diri sendiri bahwa kita bukanlah satu-satunya mahluk hidup di dunia ini. Sebuah kebaikan mungkin dianggap konyol bagi orang lain. Yang ada dalam benak saya kala melihat kucing di tengah jalan sebenarnya ini: kalau saya berhenti, saat lalulintas ramai, mungkin para pemilik kendaraan lain akan ramai-ramai membunyikan klakson.

Atau andai mereka tahu bahwa saya hanya mencoba menyelamatkan seekor kucing dari roda-roda kendaraan, ada yang mengatakan ah cuma kucing. Kucing aja ditolong, sono noh ke negara yang lagi perang buat nolong orang. Itu pikiran butut saya, pikiran manusia yang kalah oleh keadaan, oleh ramainya lalu lintas.

Sya berharap suatu saat nanti bisa membantu sesama mahluk hidup dengan nawaitu yang benar. Saya lakukan hanya karena Tuhan pemberi hidup dan mati saya. Bukan karena mitos, kalau tak menyelamatkan kucing yang ketabrak di jalan akan celaka atau sebagainya. Dan semoga yang sudah menolong kucing malang itu memang tulus, karena dirinya merasa kucing juga mahluk hidup.

Post a Comment for "Sepotong Nyawa di Tengah Ramainya Lalu Lintas"