Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Karena Orang Gila Juga (Masih) Manusia

Hujan baru saja turun.

Tiba-tiba saja ia nyelonong masuk ke dalam Kedai Kopi Barokah, belakang sebuah toko buku besar di pintu gerbang Bintan Centre, pagi tadi. Tanpa bicara sepatah kata pun ia menuju meja paling belakang, langsung mencomot sebatang rokok milik pengunjung kedai. Selanjutnya ia menuju ke meja sebelahnya saat melihat ada pengunjung yang tengah memegang korek gas. Begitu sebatang rokok yang terselip di bibirnya terbakar, dengan santainya ia mengambil bungkus rokok milik tamu kedai yang menyalakan api rokoknya. Ia mengambil tiga batang, menyelipkan satu di atas daun telinganya. Lalu ia duduk di sebuah kursi, di tengah ruangan kedai. Mengisap rokoknya kuat-kuat.

Lihatlah aksi orang gila  (dalam lingkaran) ini, santai merokok
di sebuah kedai kopi yang banyak pengunjung. Namun
ia masih tetap dimanusiakan. F-dhewe
Rambutnya panjang. Tak karuan. Bukan panjang yang tertata dan terjaga. Kalau ada sentuhan cokelat di sana, pasti bukan lantaran dicat. Itu karena hampir setiap hari terkena panas dan entah dicuci atau tidak. Pagi tadi wajahnya coreng moreng. Seperti prajurit yang menyamar di semak-semak untuk bertempur, berkamuflase.

Bajunya robek besar di bagian lengan. Celananya hitam juga tak kalah kusutnya. Baunya sempat tercium olehku, saat ia berjalan melewati kursiku yang hanya berjarak satu meter dari langkah kakinya. Seng.... seperti itulah. Kalau orang waras ya pasti mandi. Kalau pun tidak setiap hari dalam seminggu pasti mandi meski dua atau tiga kali. Kalau orang gila?

Namun Candil saat masih di Seurieus band terkenal setelah membawakan lagu rocknya berjudul Rocker Juga Manusia. Dan aku melihat orang gila yang tak kuketahui namanya itu masih dianggap manusia oleh para pengunjung kedai kopi, bahkan oleh pemilik tempat makan dan minum ini.

Lihatlah, saat ia masuk dengan gayanya yang cuek, tampaknya seluruh pengunjung kedai kopi memakluminya. Padahal ini tempat makan dan minum. Orang di meja pertama yang diambil rokoknya juga tak bereaksi dengan makian, misalnya. Kulihat ia hanya tersenyum sambil melihat sebatang rokok dikeluarkan dari bungkus rokok di hadapannya.

Seorang pengunjung kedai kopi yang kebetulan ingin menyulut rokoknya justru mendahulukan menyulut rokok yang sudah terselip di bibir pria gila tadi. Aku bertanya silakan dijawab, jika Anda orang waras berani tak berdiri di depan seseorang dengan bibir terkatup lantaran menjepit sebatang rokok? Mungkin maksud Anda agar ada yang bersedia menyulutkan rokok yang sudah siap dibakar di bibir. Mungkin bukan nyala api yang Anda dapatkan, melainkan kemarahan.


Paling tidak Anda akan meminta dengan sopan. Yang paling lazim sih meminjam korek api lalu menylutkan rokok dengan tangan sendiri. Lebih mantap lagi tambahkan senyuman di bibir sambil mengembalikan korek gas kepada pemiliknya.

Buktinya orang kedua dalam kedai dengan senang hati menyalakan rokok si orang gila. Karena si orang gila posisinya berdiri, sementara yang membantu menyalakan rokoknya duduk di kursi, rokok tak langsung terbakar. Berdirinya orang gila agak goyang-goyang, sehingga nyala korek gas tak langsung mengenai ujung rokok. Namun pengunjung kedai yang baik hati itu tetap santai.

Yang lebih gila, meski sudah dibantu dibakarkan rokoknya, tak ada ucapan terima kasih dari bibir lelaki gila tadi. Dan memang benar-benar gila, tanpa izin atau basa basi ia pun mengambil bungkusan rokok, membuka tutupnya lalu mengeluarkan tiga batang. Ia menggenggam rokok "rampasannya" tadi lalu berjalan ke arah kursi yang kosong.

Ia duduk. Matanya sesekali memperhatikan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Mungkin ia berpikir dirinya yang waras, lainnya gila. Ada teman yang duduk di kursi di depanku ingin membelikan secangkir kopi untuk lelaki gila tadi. Namun pengunjung kedai yang lain mengatakan, biasanya pemilik kedai akan membuatkan secangkir kopi untuknya. Aku yang awalnya sibuk memelototi harga barang di akhir tahun lewat toko online di ponsel mau tak ikut melirik ke arah lelaki gila tadi.

Ingin sebenarnya minta izin dan mengatakan, "Pak, bolehkah saya foto dan saya tuliskan apa yang Bapak lakukan di blog?" Tetapi jujur saja aku tak yakin kalau ia menanggapinya sesuai harapanku, misalnya, "Oh, silakan, Mas. Atau Mas mau saya berpose bagaimana?" Ya kalau ditanggapi, kalau dianggap melukai perasaannya?

Sebatang rokok itu menjadi satu-satunya benda yang menghiburnya. Mengisap asapnya kuat-kuat, menahannya sejenak, lalu menghembuskannya keluar. Kulihat, orang-orang di sekitarnya juga sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Si orang gila dianggap tak ada. Justru pemilik kedai yang harus menjaga privasi tempat usahanya. Bagaimana pun kehadiran lelaki gila tak membuat nyaman semua pembelinya. Mungkin tinggal waktu saja hingga ada yang akhirnya pindah kedai hanya karena ia membiarkan orang gila duduk di kedainya.

Kulihat seorang perempuan muda menyerahkan segelas kopi panas. Sengaja ditaruh di gelas kemasan biar bisa dibawa dan diminum si lelaki gila di mana pun ia ingin minum. Rupanya ia tahu, karena begitu menerima segelas kopi panas, ia berdiri lalu meninggalkan Kedai Kopi Barokah.

Satu lagi sebuah pelajaran kupetik, betapa pentingnya tetap menganggap seseorang sebagai manusia.

Post a Comment for "Karena Orang Gila Juga (Masih) Manusia"