Ikuti Saja Peranmu, dan Bahagialah...
Mak Ali tak pernah menyerah melawan panas dan hujan. F-dhewe. |
Memangnya ada yang jualan kakilima dekat kantor bank? Nggak, tuh. Yang ada adalah seorang perempuan beruis 50-an berdiri di sudut pintu bank. Dari dalam aku bisa melihat betapa banyak bungkusan dagangannya diletakkan di teras, namun tidak sampai menutupi seluruh teras. Ada kerupuk dan keripik. Warnanya beragam. Ada yang ditenteng per bungkus ada yang dimasukkan ke kantong plastik besar.
Kaca bank tempatku bertransaksi memang dilapisi sandblast. Namun tidak seluruhnya, bagian bawah dibiarkan tembus pandang. Dari sisi itulah kulihat aneka makanan ringan tadi. Saat aku keluar, Mak Ali, begitu wanita itu menyebutkan namanya, masih berdiri menunggu rezeki yang datang. Ia tidak memaksa. Hanya mencoba minta izin kepada satpam yang memintanya untuk menunggu sementara ada jawaban ya atau tidak dari para karyawan bank.
Kira-kira lima menit, seorang karyawan bank membawa beberapa lembar uang kertas. Ia menyebutkan jenis kerupuk yang dipesan temannya di dalam. Lalu transaksi pun berlangsung dengan sangat sederhana. Sama-sama transaksi, yang di dalam ruangan begitu jeli dan teliti, serba komputer. Sementara transaksi ala mak Ali sungguh sederhana. Terima uang, kasih kerupuknya, sudah. Kalau ada kembaliannya, ya tinggal ambil uangnya di dompet kecil yang tergantung di pergelangan tangannya.
Masih bisa berjualan sudah dianggap berkah bagi Mak Ali. F - dhewe |
Untuk menambah deskripsi, aku pun "berkenalan" dengannya. Mak Ali mengatakan, semua barang dagangannya bukan buatannya. Ada tetangganya yang pekerjaannya memang membuat jajanan lalu ditawarkan kepada orang lain untuk menjualkannya. dan Mak Ali salah satu penjual tadi. Mengenakan helm, aku iseng bertanya di mana sepeda motornya diparkir. Karena hari memang tengah terik, kalau motor diparkir di halaman bank, tak perlu lama, 10 menit saja, pasti kulit joknya akan panas luar biasa.
"Saya diantar teman," aku Mak Ali.
Tentu keuntungan dari jualan barang seperti dirinya tak memberinya keuntungan sekaligus besar. Namun masih bisa membagi rezekinya dengan teman yang diajaknya mengemudi motor dan ia membonceng.
Beda tangan beda rasa bumbunya. F-dhewe |
Mak Ali memberinya tiga bungkus keripik ubi campur sambal bilis.
"Uang saya hanya dua puluh ribu, Mak," pembeli mencoba mengingatkan.
"Nggak papa, Neng. Buat Neng kali ini saya kasih tiga," jawab Mak Ali.
Satu bungkus keripik ubi sambal bilis pedas Rp7 ribu, kalau tiga seharusnya Rp21 ribu. Dan Rp1000 adalah keuntungan Mak Ali. Namun tiada kesan ia terpaksa melakukannya.
"Memang untungnya banyak, Mak?" tanyaku.
"Kagak, mah. Serebu dua rebu," jawabnya. Belum sempat kukejar dengan pertanyaan akhir, rupanya Mak Ali mengatakan hal ini, "Mau pelit selangit pun, kalau nasib kagak kaya ya kagak kaya-kaya."
Tampak kan bilisnya? Yummi. F-dhewe |
Hmmm, rasanya kok enak ya keripik ubinya. Lalu saya keluarkan Rp20 ribu. Dan benar, rezeki sudah diatur. Nyatanya aku tetap mendapatkan dua bungkus dan kembalian Rp6 ribu. Bukan tiga bungkus seperti yang sebelumnya dilakukan Mak Ali untuk karyawan bank. tentu saja urusan ini pasti Tuhan yang punya kuasa.
Selama tujuh bulan jualan kerupuk dan keripik, Mak Ali tak pernah terbersit untuk membuat sendiri. Alasannya pun sangat sederhana. Pernah ia menjual produk sama namun yang buat bumbu berbeda dan ternyata pelanggannya komplain. Dari pengalaman itulah Mak Ali mencoba mengetahui bahwa setiap orang ada perannya. Dan ia bersyukur masih bisa berperan sebagai penjual yang menjembatani produsen dan pembeli. Ia tak punya hasrat lebih, apalagi berlebihan.
Wow, tepat sekali rejeki gusti Allah yang mengatur.
ReplyDeleteKita berusaha semaksimal mungkin..
Btw blog nya bagus