Tuhan Menyelamatkanku Lewat Kaca Helm Buram
Setiap bagian dari sebuah alat dibuat pabriknya tentu ada fungsinya. Kadang terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan kalau mencoba meniadakan fungsinya itu. Bahkan kaca helm yang sudah tidak terang alias buram pun tetap bermanfaat.
Helm kesayanganku bukan helm dengan merek terkenal. Kubeli sekitar tiga tahun lalu di sebuah swalayan kecil di Tanjunguban, Bintan. Harganya tentu bisa Anda tebak, tak mahal. Namun tetap berguna untuk melindungi kepala saat berkendara. Warna aslinya sudah tak terlihat lagi, karena kubungkus dengan stiker yang didominasi warna hitam. Beberapa bagian kusisipkan stripping agar terlihat lebih "mahal" dan keren.
Namun di usianya yang tak lagi muda, kekuatan lem bahan stikernya mengelupas. Bagian depan pun menampilkan warna asli helmnya. Penutup depan di atas kaca sebenarnya sudah pecah, namun tetap tersambung karena ada sekrup atau baut yang mengikatnya. Baut itu sekalian menahan ujung ujung kaca helm agar tidak terlepas. Kacanya? Sudah penuh goresan, ketajaman beningnya sudah jauh berkurang, kalau malam hari nyaris tak bisa digunakan. Dan karena itu aku menghindari keluar malam jauh kalau harus mengenakan helm.
Beberapa hari lalu aku pulang bersama anakku, Ilalang, dari les Bahasa Inggrisnya di Raffles, Jalan Merdeka. Dari tempat lesnya, aku memilih pulang lewat Pamedan, depan RRI belok kanan, masuk Jalan Sidorejo sekalian mengecek toko stiker kecilku. Keluar dari jalan Sidorejo, masuk jalan besar ke arah Batu 8, kutarik ke bawah kaca helmku. Itu kulakukan setelah sebuah lori dengan bahan bakar menghitam lewat dan aku bersama pengendara lain harus mengekor di belakangnya. Untuk menyalip mobil berbadan besar itu, harus hati-hati di jalan yang cukup ramai ini.
Kok ya kebetulan saat berkendara lagu yang kuputar dari ponsel dan mengalir lewat handsfreeku adalah Jarak Dua Kota-nya KLa Project. "Sekian jauh perjalanan, bersama kita tempuh, di saat harus melangkah, kita lelah dan kalah...". Terasa menyenangkan perjalanan saat matahari sebentar lagi minta diri dari tugasnya hari itu.
Mendekati Jembatan Batu 6, sebuah benda menghantam kaca helmku, menyisakan goresan kecil yang letaknya persis di depan mata kiriku. Kaget, aku refleks mengurangi gas di tangan. Juga menggerakkan kepala ke kanan, sehingga salah satu speaker handsfree di bagian kanan telingaku terlepas. Dan di lipatan lengan jaketku terjatuh sesuatu. Sebuah kerikil tajam. Tidak besar, kira-kira panjang 13 milimeter, lebar 8 milimeter dan tebal 6 milimeter dengan permukaan yang tidak rata. Dalam kondisi normal, kerikil itu mungkin menjadi mainan anak Anda di halaman rumah. Buat lempar-lemparan dan tak terlihat membahayakan.
Dalam perjalanan di atas roda, aku berpikir betapa beruntungnya aku. Dalam kecepatan tinggi, mungkin akibat terlindas ban lori atau ban kendaraan lain, kerikil kecil yang terbang bisa berbahaya untuk wajah, khususnya mata. Mungkin saja kalau tanpa mengenakan kaca helm dan mengenai kaca mataku bisa pecah. Kalau pun tidak melukai mataku, aku harus mengeluarkan uang untuk mengganti kaca mata yang pecah. Mau tak mau harus kuganti karena mataku memang sudah uzur dan harus dibantu kacamata agar penglihatanku normal.
Begitulah cara Tuhan mengingatkan. Dan aku tidak menganggap kejadian itu sebagai hal biasa. Misalnya, ah belum tentu setahun sekali terjadi hal seperti itu. Atau paling juga luka lecet di kulit wajah, dibiarkan tiga hari juga sembuh. Atau kalimat kalimat lain yang mengecilkan peringatan tadi.
Kaca helm yang tak lagi buram ternyata sangat berguna jika dipasangkan dengan helmnya. Kalau terpisah ya masing masing fungsinya akan berkurang. Seingat saya semua helm yang baru dibeli dilengkapi kaca. Atau ada helm baru tanpa kacanya, aku tidak tahu atau belum pernah membelinya.
Aku termasuk orang yang malas membersihkan helm. Bau bagian dalamnya mungkin Anda enggan untuk menciumnya. hanya beberapa kali mengelap kacanya kalau sudah tampak kotor sekali. Itu juga sekadarnya. Ambil kain yang tak terpakai, lalu kuusap. Namun begitu sampai rumah setelah peristiwa itu, benar-benar kubersihkan kaca helmnya menggunakan air sabun sebagai cairan pembersihnya. Lumayan lebih jernih dibanding sebelumnya.
Bagian dari sesuatu, entah itu kaca helm untuk helm, spion untuk kendaraan, knalpot di kendaraan, tangan, kaki, lidah, mata, hidung, mulut di tubuh seseorang pasti ada fungsi dan gunanya. Jika mal fungsi akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tangan yang suka mengambil barang orang lain, kalau ketahuan tahu sendiri bagaimana reaksi warga. Mulut yang ngomong sembarang juga akan menjadi masalah, mata yang melirik sembarangan pun tak mustahil mengakibatkan masalah.
Untuk helm, begitulah cara manusia melengkapi helm supaya lebih aman digunakan. Bagi Tuhan, begitulah Ia melengkapi bagian-bagian tubuh mahluk-Nya agar bisa digunakan sesuai kebutuhan dan kebaikan. Kalau ada yang lahir tanpa kelengkapan salah satu bagian, seharusnya menjadi pengingat betapa beruntungnya kita yang lahir normal. Siapa yang ingin membeli helm tanpa kaca?
Dan siapa yang ingin lahir ke dunia tanpa memiliki salah satu atau beberapa bagian tubuh?
Meski jelek namanya tetap helm, bukan? Fotoku dhewe |
Namun di usianya yang tak lagi muda, kekuatan lem bahan stikernya mengelupas. Bagian depan pun menampilkan warna asli helmnya. Penutup depan di atas kaca sebenarnya sudah pecah, namun tetap tersambung karena ada sekrup atau baut yang mengikatnya. Baut itu sekalian menahan ujung ujung kaca helm agar tidak terlepas. Kacanya? Sudah penuh goresan, ketajaman beningnya sudah jauh berkurang, kalau malam hari nyaris tak bisa digunakan. Dan karena itu aku menghindari keluar malam jauh kalau harus mengenakan helm.
Beberapa hari lalu aku pulang bersama anakku, Ilalang, dari les Bahasa Inggrisnya di Raffles, Jalan Merdeka. Dari tempat lesnya, aku memilih pulang lewat Pamedan, depan RRI belok kanan, masuk Jalan Sidorejo sekalian mengecek toko stiker kecilku. Keluar dari jalan Sidorejo, masuk jalan besar ke arah Batu 8, kutarik ke bawah kaca helmku. Itu kulakukan setelah sebuah lori dengan bahan bakar menghitam lewat dan aku bersama pengendara lain harus mengekor di belakangnya. Untuk menyalip mobil berbadan besar itu, harus hati-hati di jalan yang cukup ramai ini.
Kok ya kebetulan saat berkendara lagu yang kuputar dari ponsel dan mengalir lewat handsfreeku adalah Jarak Dua Kota-nya KLa Project. "Sekian jauh perjalanan, bersama kita tempuh, di saat harus melangkah, kita lelah dan kalah...". Terasa menyenangkan perjalanan saat matahari sebentar lagi minta diri dari tugasnya hari itu.
Semoga kaca helm ini terus mengingatkanku. |
Dalam perjalanan di atas roda, aku berpikir betapa beruntungnya aku. Dalam kecepatan tinggi, mungkin akibat terlindas ban lori atau ban kendaraan lain, kerikil kecil yang terbang bisa berbahaya untuk wajah, khususnya mata. Mungkin saja kalau tanpa mengenakan kaca helm dan mengenai kaca mataku bisa pecah. Kalau pun tidak melukai mataku, aku harus mengeluarkan uang untuk mengganti kaca mata yang pecah. Mau tak mau harus kuganti karena mataku memang sudah uzur dan harus dibantu kacamata agar penglihatanku normal.
Begitulah cara Tuhan mengingatkan. Dan aku tidak menganggap kejadian itu sebagai hal biasa. Misalnya, ah belum tentu setahun sekali terjadi hal seperti itu. Atau paling juga luka lecet di kulit wajah, dibiarkan tiga hari juga sembuh. Atau kalimat kalimat lain yang mengecilkan peringatan tadi.
Kaca helm yang tak lagi buram ternyata sangat berguna jika dipasangkan dengan helmnya. Kalau terpisah ya masing masing fungsinya akan berkurang. Seingat saya semua helm yang baru dibeli dilengkapi kaca. Atau ada helm baru tanpa kacanya, aku tidak tahu atau belum pernah membelinya.
Tetap syukur meski cuma kerikil. Foto dhewe. |
Bagian dari sesuatu, entah itu kaca helm untuk helm, spion untuk kendaraan, knalpot di kendaraan, tangan, kaki, lidah, mata, hidung, mulut di tubuh seseorang pasti ada fungsi dan gunanya. Jika mal fungsi akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tangan yang suka mengambil barang orang lain, kalau ketahuan tahu sendiri bagaimana reaksi warga. Mulut yang ngomong sembarang juga akan menjadi masalah, mata yang melirik sembarangan pun tak mustahil mengakibatkan masalah.
Untuk helm, begitulah cara manusia melengkapi helm supaya lebih aman digunakan. Bagi Tuhan, begitulah Ia melengkapi bagian-bagian tubuh mahluk-Nya agar bisa digunakan sesuai kebutuhan dan kebaikan. Kalau ada yang lahir tanpa kelengkapan salah satu bagian, seharusnya menjadi pengingat betapa beruntungnya kita yang lahir normal. Siapa yang ingin membeli helm tanpa kaca?
Dan siapa yang ingin lahir ke dunia tanpa memiliki salah satu atau beberapa bagian tubuh?
Nice share om
ReplyDeleteMakasih juga Mas Danan...
Delete