Bahagia Bisa di Mana-mana
Fotoku dhewe |
Suatu hari, seminggu belakangan ini, aku menemukan lima ekor anak kucing yang dilahirkan emaknya di samping rumahku tak lagi berkumpul berdesakan di kardus yang kulapisi beberapa lembar kain. Kasihan, semoga kamar tidur sederhana itu bisa membuat bayi bayi yang beberapa matanya masih tertutup itu lebih nyenyak tidur. Juga hangat karena hujan sering turun di kota ini.
Mereka justru memilih berdesakan di tempat tampung sampah yang biasa dipakai berbarengan dengan sapu lantai. Dilihat dari ukurannya, "kamar" yang kusediakan untuk mereka jauh lebih lapang. Di atasnya juga kututup papan kayu sebagian biar terhindar dari percikan hujan dan panas saat hari terik. Rumah kardus ukurannya 40 centimeter kali 30 centimeter, sementara tempat tampung sampah plastik hanya 25 kali 25 sentimeter. Tak ada alasnya lagi, ya plastik sebagai bahan tempat tampung sampah tadi sebagai kasur. Juga tak ada atapnya.
Kupikir, mereka waktu itu kesasar atau bermain main keluar rumah kardusnya. Maklum anak anak, baru lahir, pasti rasa ingin tahunya sedang memuncak. Berlima saudara, kucing kucing yang belum diberi nama oleh anakku itu pasti kebingungan jalan untuk pulang, itu yang ada dalam benakku. Lalu kupindah satu satu ke rumah kardus.
Oh, mungkin karena alas kainnya sudah bau. Bau bekas buang air besar dan pipis yang bercampur berhari hari. Kubaliklah kasur pakaian bekas tadi agar lebih bersih. Ah, kasihan betul kucing kucing kecil yang menggoda itu. Makanya dik, pakai pepetah manusia, Lupa Bertanya sesat di Jalan (Pulang). Atau mungkin juga waktu mereka sudah bosan main, mau pulang tak ada kucing lain yang lebih dewasa ada di sekitarnya. Jadi mereka tak bisa bertanya, pulang eh kesasar ke tempat tampung sampah.
Keesokan harinya, kubuka pintu samping belakang, dan lima ekor anak kucing itu pindah lagi ke tempat tampung sampah. Karena masih pagi, mereka masih bermalas-malasan. Kepala lucu mereka terbenam di dasar tempat tampung sampah, saling berdesakan. Tampak tak ada kesedihan di wajah mereka. Mungkin juga sedih tetapi aku tak tahu bagaimana membedakan wajah anak kucing yang tengah galau atau gembira. Yang kutahu kalau mereka kelamaan menunggu emaknya pulang karena ingin menyusui, suaranya bising sekali.
Lalu aku berpikir, apakah manusia juga seperti itu. Belum tentu mereka yang tinggal di rumah mewah, lengkap fasilitasnya, butuhl ini dan itu tinggal bilang ke pesuruh, mau apa minta disediakan secepatnya, merasa bahagia dalam kebersamaan. Mungkin ada benarnya pepatah anonim ini: orang orang paling bahagia tidak memiliki yang terbaik dari segalanya, mereka hanya membuat yang terbaik dari segalanya.
Bisa jadi fasilitas yang bagus dan lengkap bukan jaminan orang orang yang ada di dalamnya merasa bahagia. Meraka yang tinggal di kolong jembatan, namun senantiasa menjadikan perilaku atau tindakannya terbaik dari segala kondisi yang ada justru lebih bahagia. Mereka menyadari, keadaan yang memaksa mereka harus tinggal di rumah kardus, beberapa bagian senag usang, atap terpal yang ditambal sana sini. Daripada selalu membayangkan tinggal di apartemen di sampingnya yang menjulang tinggi, sementara pekerjaan dan penghasilan hanya cukup untuk mendirikan gubug reyot di kolong jembatan, disyukuri masih bisa berteduh dari hujan dan panas.
Membuat yang terbaik dari segalanya bukanlah pekerjaan yang mudah. Berbuat baik saja kadang anggapan orang negatif, apalagi berbuat salah. Butuh perjuangan bagi seseorang bisa menjadikan yang terbaik dari segala sesuatu. Menjadikan dirinya terbaik, menjadikan lingkungannya terbaik, merasa keluarganya yang terbaik, menyukuri rezekinya yang terbaik, menikmati pekerjaannya sebagai sesuatu yang terbaik, menjalankan persahabatan dengan cara terbaik, membelanjakan uangnya yang pas pasan dengan cara terbaik dan sebagainya.
Ketidakpuasan menggerogoti hati manusia. Sudah mampu begini ingin begitu. Selalu merasa kurang. Begitu merasa impiannya tercapai, lalai, jatuh buum... keras sekali. Tatit (baca sakit).
Pagi tadi kupandangi kucing kucing kecil yang akan tumbuh besar itu. Untuk urusan kehewanan mereka pasti lebih paham dibandingkan aku. Dan emaknya yang datang pun dengan santai melingkarkan tubuhnya di sela sela tubuh bayi bayinya, membiarkan puting susunya kemudian menjadi rebutan. Mereka tak butuh rumah kardus yang hangat, atap pelindung, kain bekas untuk kasur.
Aku mendekat, kubisikkan kata kata, kalau kalian bahagia tunjukkan sesuatu kepadaku. Lalu satu dari lima bayi tadi bersuara: ngeooong. Kuulangi pertanyaanku namun berbeda arti, kalau merasa tak bahagia tolong tunjukkan sesuatu: anak kucing lain yang ingin pindah puting bersuara: ngeong ngeong ngeong. Ah, lagi lagi aku tak paham perbedaan satu ngeong panjang dan tiga ngeong pendek.
Ya sudah, bahagialah kucing kucingku. Tempati saja rumahmu pilihanmu asalkan bahagia. Aku tak akan lagi memindahkan kalian.
yang kasian kalo kucing dibuang gitu, dan terpaksa menjadi liar
ReplyDeleteAku paling nggak suka kalo kucing sampe masuk rumah, naik - naik ke meja, sama pipis di kamar tidur
ReplyDeletenurazizahkim.blogspot.com