Anak Temanku Gak Pintar Kok Diterima Sekolah Favorit, Ya?
Apa paling menarik setiap pergantian tahun pelajaran baru yang dimulai setiap bulan Juli? Selain kebanggaan orangtua yang anaknya bisa masuk sekolah unggulan, juga pasti ada kesedihan anak yang tak bisa tembus nilai sekolah favorit. Eh, ada lagi, selalu terdengar selentingan kalau ada anak yang sebenarnya nilainya di bawah daftar online, nyatanya bisa masuk sekolah unggulan.
Alhamdulillah aku memiliki satu anak yang sekarang sudah duduk di kelas IX. Dari Sekolah Dasar aku cukup tahu siapa siapa saja teman-temannya. Karena setiap kali penerimaan rapor orangtua siswa atau wali murid pasti diundang ke sekolah. Lalu setelah itu kami, antar orangtua murid saling membuka rahasia buku rapar anak kami masing-masing. Si A, Si B, Si C berapa nilainya?
Lantas tahun pelajaran baru harus berganti. Sudah saatnya masuk sekolah unggulan di kota tempat aku tinggal, Tanjungpinang. Aku sebenarnya tak terlalu risau melihat nilai anakku, Insya Allah masih bisalah tembus untuk masuk ke sekolah yang dianggap favorit. Wuh ramainya saat pendaftaran. Mulai pengambilan nomor pendaftaran, menunggu pemanggilan sambil menunjukkan atau menyerahkan berkas yang dicantumkan sebagai syarat penerimaan siswa baru, lalu membayar biaya seragam dan sebagainya.
Sistem online yang diterapkan pemerintah sebenarnya bagus untuk mengawasi pergerakan naik turun peringkat anak di sekolah yang diincarnya. Bagi orangtua yang sibuk banget, bukan seperti aku yang kalau sibuk biasanya menyibukkan diri hehe, sistem online ini pasti sangat membantu. Kalau ada laptop bisa langsung memantaunya, kalau tak ada laptop bisa menggunakan ponsel. Toh alamat wesbite-nya sudah diberitahu. Kalau laptop tak bisa, coba cek ada kuota internet di modem Anda atau tidak? Fasilitas Wifi yang terpasang sudah bayar belum? Yang pakai ponsel kuota internetnya cukup nggak? Kalau nggak ya bisa ke warnet hehe.
Pertanyaanku sederhana saja. pernahkah Anda mengecek nama selain nama anak Anda di peringkat online? Aku menjamin meski tidak seratus persen, kebanyakan yang dipelototi adalah nama anak sendiri. Masih aman posisinya atau nggak, ya? Kira kira sampai penutupan pendaftaran online tetap bisa masuk atau harus ke sekolah yang grade-nya ada di bawah sekolah favorit. Memang ada, orangtua yang ikut memantau nama teman anaknya. Biasanya juga, yang dekat dengan anaknya semasa sekolah. Atau yang paling nggak ranking sekian besar dan kita tahu nilainya.
Ajaibnya, seperti di film film kartun yang membuat ngakak kalau adegannya lucu. Saat hari pertama masuk sekolah, ada teman anakku sewaktu SD yang jelas jelas nilainya tidak mencukupi dan tak tercantum dalam pendaftaran online bisa masuk. Wuih, saat itu beberapa orangtua murid yang anaknya satu Sekolah dasar dengan anakku merasa sedih dengan kenyataan itu. Mending kalau bayar kami juga mau karena nilai anak kami lebih tinggi daripada nilai SI A, Si B, Si C. Begitulah orangtua siswa yang merasa direnggut sisi baiknya.
Aku tak perlu pelengkap lain untuk mengatakan yang dikatakan beberapa orangtua murid tadi adalah benar adanya. Aku dan juga orantgtua siswa yang merasa getir tak ingin menyalahkan si anak yang meski di sekolah sebelumnya nilainya ngos-ngosan, akhirnya masuk sekolah favorit. Bocah mana asih yang nggak ingin masuk SMP bagus setelah lulus SD? Yang tak ingin masuk SMU atau SMK unggulan selepas SMP atau sederajat? Tentu menjadi kebanggaan.
Apakah orangtua murid yang jelas tahu kemampuan anaknya di bawah rata-rata namun memaksakan diri untuk masuk SMP favorit harus disalahkan? Mestinya iya, kalau misalnya bukan alasan benar salah, coba digunakan kata nurani. Berarti anak-anak mereka telah mencuri kesempatan anak lain yang semestinya bisa masuk. Yah, siapa sih orangtua yang tak menginginkan anaknya bisa sekolah di sekolah ngetop. Kan enak menjawabnya kalau ditanya tetangga, eh anaknya sekolah di mana, Mba, Ka, Bang, Mas? Lalu dijawab, ehm di SD sana tuh, SMP sono tuh, SMK sini tuh. Wow, cuma wow saja hehe.
Bagiku, yang perlu dibenahi adalah nurani para pengambil kebijakan di sekolah sekolah unggulan. Aku terus terang saja tak ingin tahu lebih banyak. Mungkin kalau aku masih bekerja di koran hal seperti itu kuuber sampai tuntas. Lantaran memang sudah berniat berhenti dari dunia jurnalistik yang sudah kugeluti 13 tahun dan memilih berwiraswasta, yah aku cukup tahu saja. Cukup di KTP-ku saja yang anehnya masih tercantum pekerjaan sebagai wartawan, padahal saat rekam data jelas-jelas aku minta ingin mengubah agama dan pekerjaan, yang tidak sesuai di KTP lama.
Bagaimana dan mengapa itu terjadi menjadi catatan dalam diriku. Sebagus apapun sistem dibuat, tanpa mental dan jiwa serta etos kerja mumpuni maka tetap terjadi penyelewengan. Kalau dianggap yang masuk secara sembunyi tadi hanya nol koma sekian persen, kalau dibiarkan dan tidak diambil ketegasan ya tetap selalu ada hak-hak anak pintar yang dikorbankan. Bahkan kalau lebih jauh, kasihan anak pintar yang orangtuanya miskin. Aku tidak mengatakan bahwa praktik yang terjadi di sekolah favorit terjadi karena duit. Yah, siapa tahu hehe.
Lantas baru saja aku mendapatkan informasi penting saat bertemu dengan pegawai sebuah dinas pendidikan, yang mengatakan sebenarnya guru itu memiliki semacam jatah untuk memasukkan anaknya di sekolah tempatnya mengajar? Namun alasannya masuk akal, karena guru tak punya banyak waktu cukup untuk mondar-mandir mandaftarkan anaknya. Ya sudah Guru A yang memiliki satu anak lulus SD dan masuk ke SMP tempat ibunya mengajar, itu bisa. Aku pikir juga ada benarnya, paling tidak biar guru mengajar lebih fokus. Bagaimana pun mereka adalah orang yang mengajari aku, Anda bisa membaca dan menulis yang ternyata banyak digunakan dalam kehidupan ini.
Persoalannya, andaikata memang ada guru yang anak-anaknya sudah bekerja dan menggunakan kuota khusus tadi untuk kongkalikong dengan orangtua calon siswa, aku rasa ini yang agak kurang gimana gitu. Apalagi kalau sejatinya guru tadi tahu nilai rapor anak yang harus dibantunya masuk. Sesuatu yang dipaksakan sih biasanya nggak bagus hasilnya? Maksudku, bisa jadi malah sia anak yang dipaksakan masuk ke sekolah favorit oleh orangtuanya justru terbebani karena merasa tak mampu mengikuti otak teman-temannya di kelas atau sekolah.
Jadi kalau anak Anda kurang pintar namun Anda menginginkan ia bisa masuk sekolah favorit, selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan. Anda yang tahu harus bagaimana? Dan Anda juga tahu risikonya. Kalaupun tidak diketahui publik, hati Anda tahu. Dan itu akan terbawa sepanjang hidup. Setali tiga uang, guru harus menjaga pribadinya sebagai sosok yang bisa digugu dan ditiru.
Digugu (bahasa Jawa) artinya guru itu ditaati nasihatnya karena mengandung kebaikan, kebajikan dan nilai moral tinggi. Sementara ditiru (bahasa Jawa) artinya perilakunya patut dicontoh oleh anak didiknya. Akan sangat sayang kalau Guru diplesetkan menjadi digunem (bahasa Jawa) yang artinya menjadi bahan pembicaraan karena ulahnya yang kurang mencerminkan pribadi guru dan diaru-aru (bahasa Jawa) yang artinya diganggu karena ulahnya sendiri.
Terima kasih untuk orangtua dan anaknya yang baik, kepala sekolah yang baik, guru yang baik, yang menjaga pendidikan di negeri ini tetap baik. Para pembuat kebijakan atau aturan yang menginginkan pendidikan kita lebih baik. Semoga dunia pendidikan kita akan baik-baik saja.
Keceriaan kelulusan di SMKN 1 Tanjungpinang. F-batampos. |
Lantas tahun pelajaran baru harus berganti. Sudah saatnya masuk sekolah unggulan di kota tempat aku tinggal, Tanjungpinang. Aku sebenarnya tak terlalu risau melihat nilai anakku, Insya Allah masih bisalah tembus untuk masuk ke sekolah yang dianggap favorit. Wuh ramainya saat pendaftaran. Mulai pengambilan nomor pendaftaran, menunggu pemanggilan sambil menunjukkan atau menyerahkan berkas yang dicantumkan sebagai syarat penerimaan siswa baru, lalu membayar biaya seragam dan sebagainya.
Sistem online yang diterapkan pemerintah sebenarnya bagus untuk mengawasi pergerakan naik turun peringkat anak di sekolah yang diincarnya. Bagi orangtua yang sibuk banget, bukan seperti aku yang kalau sibuk biasanya menyibukkan diri hehe, sistem online ini pasti sangat membantu. Kalau ada laptop bisa langsung memantaunya, kalau tak ada laptop bisa menggunakan ponsel. Toh alamat wesbite-nya sudah diberitahu. Kalau laptop tak bisa, coba cek ada kuota internet di modem Anda atau tidak? Fasilitas Wifi yang terpasang sudah bayar belum? Yang pakai ponsel kuota internetnya cukup nggak? Kalau nggak ya bisa ke warnet hehe.
Penerimaan siswa baru di SMKN 3 Tanjungpinang. F-tribun batam |
Ajaibnya, seperti di film film kartun yang membuat ngakak kalau adegannya lucu. Saat hari pertama masuk sekolah, ada teman anakku sewaktu SD yang jelas jelas nilainya tidak mencukupi dan tak tercantum dalam pendaftaran online bisa masuk. Wuih, saat itu beberapa orangtua murid yang anaknya satu Sekolah dasar dengan anakku merasa sedih dengan kenyataan itu. Mending kalau bayar kami juga mau karena nilai anak kami lebih tinggi daripada nilai SI A, Si B, Si C. Begitulah orangtua siswa yang merasa direnggut sisi baiknya.
Aku tak perlu pelengkap lain untuk mengatakan yang dikatakan beberapa orangtua murid tadi adalah benar adanya. Aku dan juga orantgtua siswa yang merasa getir tak ingin menyalahkan si anak yang meski di sekolah sebelumnya nilainya ngos-ngosan, akhirnya masuk sekolah favorit. Bocah mana asih yang nggak ingin masuk SMP bagus setelah lulus SD? Yang tak ingin masuk SMU atau SMK unggulan selepas SMP atau sederajat? Tentu menjadi kebanggaan.
Apakah orangtua murid yang jelas tahu kemampuan anaknya di bawah rata-rata namun memaksakan diri untuk masuk SMP favorit harus disalahkan? Mestinya iya, kalau misalnya bukan alasan benar salah, coba digunakan kata nurani. Berarti anak-anak mereka telah mencuri kesempatan anak lain yang semestinya bisa masuk. Yah, siapa sih orangtua yang tak menginginkan anaknya bisa sekolah di sekolah ngetop. Kan enak menjawabnya kalau ditanya tetangga, eh anaknya sekolah di mana, Mba, Ka, Bang, Mas? Lalu dijawab, ehm di SD sana tuh, SMP sono tuh, SMK sini tuh. Wow, cuma wow saja hehe.
Suasana pengumuman kelulusan di SMPN 4 Tanjungpinang. Foto - facebook.com/SMP-Negeri-4-Tanjungpinang |
Bagaimana dan mengapa itu terjadi menjadi catatan dalam diriku. Sebagus apapun sistem dibuat, tanpa mental dan jiwa serta etos kerja mumpuni maka tetap terjadi penyelewengan. Kalau dianggap yang masuk secara sembunyi tadi hanya nol koma sekian persen, kalau dibiarkan dan tidak diambil ketegasan ya tetap selalu ada hak-hak anak pintar yang dikorbankan. Bahkan kalau lebih jauh, kasihan anak pintar yang orangtuanya miskin. Aku tidak mengatakan bahwa praktik yang terjadi di sekolah favorit terjadi karena duit. Yah, siapa tahu hehe.
Lantas baru saja aku mendapatkan informasi penting saat bertemu dengan pegawai sebuah dinas pendidikan, yang mengatakan sebenarnya guru itu memiliki semacam jatah untuk memasukkan anaknya di sekolah tempatnya mengajar? Namun alasannya masuk akal, karena guru tak punya banyak waktu cukup untuk mondar-mandir mandaftarkan anaknya. Ya sudah Guru A yang memiliki satu anak lulus SD dan masuk ke SMP tempat ibunya mengajar, itu bisa. Aku pikir juga ada benarnya, paling tidak biar guru mengajar lebih fokus. Bagaimana pun mereka adalah orang yang mengajari aku, Anda bisa membaca dan menulis yang ternyata banyak digunakan dalam kehidupan ini.
Persoalannya, andaikata memang ada guru yang anak-anaknya sudah bekerja dan menggunakan kuota khusus tadi untuk kongkalikong dengan orangtua calon siswa, aku rasa ini yang agak kurang gimana gitu. Apalagi kalau sejatinya guru tadi tahu nilai rapor anak yang harus dibantunya masuk. Sesuatu yang dipaksakan sih biasanya nggak bagus hasilnya? Maksudku, bisa jadi malah sia anak yang dipaksakan masuk ke sekolah favorit oleh orangtuanya justru terbebani karena merasa tak mampu mengikuti otak teman-temannya di kelas atau sekolah.
Wali murid menemani anaknya saat penerimaan siswa baru di SMAN 1 Tanjungpinang. Fotone batampos. |
Digugu (bahasa Jawa) artinya guru itu ditaati nasihatnya karena mengandung kebaikan, kebajikan dan nilai moral tinggi. Sementara ditiru (bahasa Jawa) artinya perilakunya patut dicontoh oleh anak didiknya. Akan sangat sayang kalau Guru diplesetkan menjadi digunem (bahasa Jawa) yang artinya menjadi bahan pembicaraan karena ulahnya yang kurang mencerminkan pribadi guru dan diaru-aru (bahasa Jawa) yang artinya diganggu karena ulahnya sendiri.
Terima kasih untuk orangtua dan anaknya yang baik, kepala sekolah yang baik, guru yang baik, yang menjaga pendidikan di negeri ini tetap baik. Para pembuat kebijakan atau aturan yang menginginkan pendidikan kita lebih baik. Semoga dunia pendidikan kita akan baik-baik saja.
Post a Comment for "Anak Temanku Gak Pintar Kok Diterima Sekolah Favorit, Ya?"