Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pisang yang Berbeda Harga

Sore tadi, kira kira jam lima sore, aku lewat jalan biasa pulang ke rumah. Pekerjaan di toko stiker masih menyisakan beberapa desain, namun bisa kulanjutkan esok hari. Di warung buah tepi jalan, mendadak tertarik dengan buah pisang yang sengaja ditata penjualnya di lapak kayu. Berjejer, beraneka jenis pisang matang dijual di sana.

Setelah melihat lihat, meraba, memencet sedikit tanpa ketahuan penjualnya, akhirnya aku menanyakan harga harganya. Ada yang satu kilogram Rp8 ribu, Rp6 ribu, Rp10 ribu. Tergantung kualitas dan jenis pisangnya. Lalu kupilih satu bonggol pisang yang bentuknya kecil berwarna kuning. Kata penjualnya, jika aku ingin menikmati pisang langsung dimakan, artinya tak dibuat olahan atau dimasak dahulu, pisang itu yang paling cocok. Dilihat dari bentuknya, pisang yang kubeli sudah matang dari pohonnya.


Lumayan untuk mengisi kekurangan zat zat tubuh yang bisa diperoleh dari asupan buah. Namanya juga tubuh manusia, seringkali melupakan betapa pentingnya buah buahan. Padahal setiap buah mengandung nutrisi tertentu yang pasti dibutuhkan tubuh. Namun lebih sering lupa memenuhi kebutuhan itu. Atau bisa juga tidak lupa, namun harus mempertimbangkan uang di dompet. Zaman semakin susah mencari uang, rezeki yang diberikan Tuhan harus bisa dimanfaatkan seefisien mungkin. Apakah alasan itu diterima oleh ahli kesehatan? Belum tentu, bisa jadi jawaban mereka begini: kan bisa memetik buah yang bisa ditanam sendiri. Atau, tak perlu buah yang mahal, buah murah pun mengandung zat yang dibutuhkan tubuh, lho. Jadi kesimpulannya, memang malas membelinya hehehe.

Kembali ke buah pisang yang kubeli, disepakati satu kilogram Rp6 ribu. Ketika diangkat dan diletakkan di atas mangkok timbangan, aku melihat jarum timbangan melebihi angka satu. Belum sempat aku mengeluarkan uang, penjualnya, seorang lelaki yang usianya di atas 50 tahun justru mengambil lagi satu bonggol kecil yang kemudian diletakkan di atas mangkok timbangan. Hampir mendekati dua kilogram.

Aku buru buru mengingatkan, bahwa aku hanya ingin membeli satu kilogram buah pisang yang tengah ditimbang. Sambil tersenyum si penjual malah menjawab seperti ini: nggak apa apa, Mas, ini buah pisang dari hasil kebun saya sendiri. Kalau buah titipan orang lain satu on atau dua ons kelebihan beratnya akan saya hitung.

Aku hanya bisa mengatakan terima kasih. Aku rasa tidak banyak penjual buah seperti bapak itu. Mau buah dari kebun sendiri atau buah titipan, tetap ada harga rupiahnya. Bahkan sering aku melewati kawasan warung buah di Tanjungpinang, dan mendapati buah buahan yang sudah agak busuk dibuang.

Aku kembali menanyakan apakah dengan seperti itu dia tidak merasa rugi. Dijawabnya seperti ini : sebentar lagi juga saya tutup, kalaupun saya simpan buah pisang yang matang pohon ini untuk besok atau lusa, mungkin sudah busuk. Lebih baik bermanfaat buat orang lain, Mas.

Seorang penjual buah yang warungnya tidak besar. Warung yang hanya dibuat dari papan dan terpal seadanya. Buah yang dijual pun tak selengkap toko buah kebanyakan. Namun aku yakin ia lebih kaya dibandingkan mereka yang memiliki uang banyak namun tak pandai bersyukur. Saat menerima uangku, bapak penjual buah tadi tak lupa mengucapkan alhamdulillah dan berterima kasih kepadaku. Apa yang bisa dipetik dari kisah nyata sore tadi yang kualami? Silakan Anda merenungkannya sendiri.

Post a Comment for "Pisang yang Berbeda Harga"