Jumadi, Temanku yang Tak Terlihat Beberapa Malam
Baru pada perjumpaan ke sekian aku baru mengenal namanya. Jumadi. Seharusnya aku bisa lebih awal menanyakan namanya, namun entah mengapa sepertinya waktu itu tak ada yang penting sehingga harus menanyakan hal itu kepadanya. Toh Jumadi hanyalah pemuda lajang berusia 25 tahun yang pekerjaannya meminta minta.
Sebagai pemilik usaha kecil kecilan, hampir setiap malam aku menyetor uang melalui ATM setoran sebuah bank yang ada di komplek Pinlang Mas, Tanjungpinang. Nyetornya juga kecil kecilan. Biasanya juga, mesin ATM setoran yang ada lebih sering ngadat, jadi acara menunggu bisa menjadi sesuatu yang menyebalkan atau bahkan menyenangkan. Dan di saat saat menunggu giliran masuk ke ruang ATM itulah mulai kutangkap sosok Jumadi.
Malam pertama, ia mengenakan jaket jumper warna krem tua. Tudung kepalanya dipasang. Ia mengenakan celana pendek, duduk sambil menyandarkan punggungnya pada tiang teras bangunan. Dengan demikian, setiap orang yang keluar masuk ruang ATM pasti melihatnya. Jumadi tidak pernah meminta meski ia butuh uang. Ia hanya diam, kalau diberi diterima, kalau tidak diberi ya diam saja.
Malam kedua, kebetulan ada sisa uang yang tak bisa kusetor ke mesin ATM. Lantas kuberikan kepadanya. Keluar ucapan terima kasih dan doa baik. Kalimat yang keluar dari bibirnya tersendat. Tatapannya kuyu, seolah tak ada gairah di dalamnya. Tangannya gemetar memang uang yang kuberikan, yang jumlahnya tak seberapa. Uang itu aku berikan karena sebelumnya aku sempat ngobrol sebentar. Ia cerita penyakitnya banyak, jantung, paru paru dan entah apa, banyak yang disebutkan. Biacaranya pun sudah tak bisa kuat, hanya lirih lirih. Satu kata bisa dieja diselingi tiga kali tarikan nafas dalam dengan tersengal.
Malam ketiga sengaja aku lewatkan antreanku ke ATM setoran. Bak teman dekat, kami ngobrol. Lalu Jumadi cerita, beberapa menit sebelum aku datang ada seorang perempuan setengah baya melarang beberapa orang yang ingin memberinya uang. Si perempuan menyebut aksi Jumadi hanya tipu tipu, pura pura sakit agar orang merasa iba. Namun Jumadi tak pernah memasukkan tudingan semacam itu ke hati. Karena ia memang butuh uang.
Malam keempat, setelah dua malam aku tak datang, Jumadi langsung menyodorkan dua lembar kertas hasil pemeriksaan dokter di rumah sakit daerah. Aku membacanya, namun tak tahu sepenuhnya karena itu bahasa medis. lalu Jumadi mengatakan, untuk pemeriksaan di rumah sakit ia tak membayar sepeser pun. "Untuk beli obat harus punya uang tiga ratus ribu, Bang," ujarnya. Ia mengaku membawa berkas rumah sakit bila ada yang bertanya penyakitnya apa.
Malam itu kami berbincang banyak. Jumadi bercerita, ia lahir dari orang tua yang biasa saja, dengan pekerjaan yang hanya mampu menghasilkan uang untuk makan sehari hari. Sementara penyakitnya sudah diderita sejak usianya belasan tahun. Jumadi juga tak pernah lupa meminta kesembuhan kepada Allah SWT. Saat azan berkumandang, ia akan meninggalkan "markas"nya menuju masjid di Komplek Bintan Centre. Ia menggunakan sarung yang disediakan masjid. yang dipintanya hanya satu dan itu utama, "Aku ingin sembuh, Bang. Biar bisa bantu orang tua."
Kepadaku, Jumadi tak malu memperlihatkan berapa jumlah uang yang sudah diperolehnya dari mengemis. Ia tunjukkan semuanya, bahkan sampai yang koin. Ia selalu bersyukur dengan pemberian orang. Menjadi pengemis bukan cita cita. Terlintas di benaknya pun tidak. "Saya tak mampu bekerja lagi, dulu kerja apapun saya lakukan. Kini, duduk mengemis saja badan rasanya sakit."
Daging tubuh Jumadi tinggal sedikit. Di usia mudanya, tonjolan tulang mulai tampak. Untuk berjalan, ia harus sangat hati hati. Perjalanan dari tempatnya mengemis hingga masjid ditempuhnya dalam waktu hampir setengah jam, padahal jaraknya tak lebih dari satu kilometer, bahkan kurang. Teman mengemisnya adalah sebotol minyak kayu putih. Aku pernah coba tawari susu, namun ia mengaku selalu muntah. Cairan yang bisa masuk ke mulutnya hanyalah air putih. Untuk menelan cairan atau makanan lain ia harus berusaha menahan sakit di organ tubuhnya.
Sudah tiga malam aku tak melihat Jumadi di depan ruangan ATM setoran sebuah bank, tempat di mana kami bertemu dan berteman. Aku tak tahu kemana ia. Masih teringat kental bagaimana dengan kalimat putus putus ia mendoakanku dengan segala kebaikan. Lalu tiba tiba kulihat kelopak matanya yang beberapa kali berkedip pelan, kepalanya dijatuhkan ke samping. Adakah yang tahu di mana temanku ini berada?
Post a Comment for "Jumadi, Temanku yang Tak Terlihat Beberapa Malam"