Nomor Ponsel dan Kematian Seseorang
![]() |
foto: kisahhikmahdotcom |
Namanya Toni, aku memanggilnya Mas Toni. Ia perantaua asal Yogyakarta, beristrikan wanita kelahiran Tanjungpinang, kota yang sekarang aku diami. Perkenalanku dengannya berawal saat aku melintasi sebuah taman bacaan dan persewaan film di sebuah jalan gang. Dari sanalah muncul kecocokan. Bahkan pernah kami bersama sama menerbitkan majalah remaja. Keahliannya di bidang desain tiga dimensi serta bahasa pemrograman membuatnya mampu mengelola usaha rumahannya dengan cermat.
Persahabatan dengan Mas Toni tak selamanya kami dalam posisi berdekatan. Aku pernah meninggalkannya saat harus pindah tugas ke Kabupaten Lingga, lalu balik lagi ke Batam dan ujungnya aku kembali lagi ke Tanjungpinang. Belakangan aku ketahui bahwa Mas Toni memiliki penyakit diabetes yang sudah cukup kronis. Namun sifatnya yang gigih dan tak bisa diam membuatnya seolah tak merasakan penyakitnya itu. Ia masih menerima pesanan desain untuk perabotan atau interior orang lain.
Meski kami berdekatan, namun ada satu hal yang rupanya membuat Mas Toni akhirnya menanyakan berapa nomor ponselku yang aktif 24 jam. Suatu hari ia menanyakannya kepadaku. Karena selama bertahun tahun ia masih menyimpan semua nomor ponselku, sementara pada akhirnya hanya satu nomor yang kupakai, sekaligus untuk nomor program perpesanan.
"Kasih aku nomormu yang selalu aktif, nomor segini banyak kok kadang kukirim pesan tak sampai," ujarnya suatu hari dengan wajah agak kesal.
Aku kenal Mas Toni lama, ia adalah pribadi yang sabar. Namun saat berkata dengan raut wajah agak kecewa, aku tahu ia pasti marah denganku. Marahnya orang yang pendiam. Lalu aku hapus nomor nomorku yang sudah tak terpakai lagi.
Ia melanjutkan, "Takutnya ada apa apa dengan aku, kan gampang menghubungi kamu."
Aku terdiam. Saat itu aku sedang bermain ke rumahnya. Ia barusan pulang dari rumah sakit. Bagiku, kalimatnya itu terasa sangat dalam menyentuh perasaanku. Padahal biasanya ia cukes saja. Ia akan mengirimkan pesan ke semua nomor ponselku yang tersimpan di ponselnya.
"Aku kan sakit sakitan, biar gampang kalau kalau membutuhkanmu," imbuh lelaki yang beristrikan seorang pegawai di lingkungan Pemprov Kepri ini.
Hari hari berikutnya aku anggap biasa saja ucapan Mas Toni. Suatu pagi, kira kira pukul 08.00 ada pesan masuk ke ponselku. Isinya membuatku terkejut. Yang mengirimkan pesan istrinya, mengabarkan bahwa Mas Toni meninggal semalam di rumah sakit.
Tanpa berpikir lama aku bergegas berangkat ke rumah duka yang jaraknya hanya lima menit perjalanan. Kupacu sepeda motorku. Di sana jenazah Mas Toni sudah dimandikan,. Aku menerobos masuk ke halaman rumah yang dijadikan tempat memandikan jenazah. Lalu aku ikut membasuh, menyabuni tubuh kaku yang selama ini kerap memberikan motivasi hidup kepadaku ketika masih bersatu dengan jiwanya. Aku menahan panasnya kelopak mata.
Bersama warga, aku ikut menggotong jenazahnya untuk dikafani. Setelah menyalatkannya di masjid perumahan, kami menuju pemakaman umum yang juga tak jauh dari sana. Akhirnya proses pemakaman Mas Toni berakhir. Saat orang orang meninggalkan lokasi pemakaman, kulihat istrinya pingsan.
Yang membuatku menyesal adalah: sebelum mengirimkan pesan ke ponselku, istri Mas Toni sudah mencoba menghubungiku beberapa kali. Namun entah mengapa malam itu aku mengatur mode dering ponselnku dengan getar. Kematian sudah pasti kehendak Tuhan, namun saat aku ditelepon dan dibutuhkan, aku tak ada di rumah sakit. Saat aku berikan satu nomor ponsel yang aktif 24 jam, aku justru tidak mengangkat telepon malam itu. Selamat jalan Mas Toni.
Post a Comment for "Nomor Ponsel dan Kematian Seseorang"