Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Masjid Itu Hanya Lima Menit Jalan Kaki

Masih soal Ramadan, ada hal yang hingga hari ke-13 perjalanan bulan suci mengganjal di hatiku.Sederhana saja persoalannya, seharusnya aku dan anakku membatalkan puasa saat berbuka dengan air minum. Lantas bergegas ke masjid untuk salat maghrib berjamaah, setelah itu bisa menikmati makanan berbuka kembali.

Namun itulah, keindahan yang tampak di depan mata masih mampu membutakan niat baikku. Ah, Tuhan, betapa rendah kualitas ibadahku ini. Hanya melihat es dengan kerokan timun suri plus sirup kaki yang seharusnya bangkit ke tempat wudlu mendadak seperti lunglai. Menatap beberapa potong ayam goreng yang bersanding dengan satu lemper (jawa, cobek) sambal tomat, hasrat baikku tiba tiba terkubur. Bagaimana nanti aku akan membela diri, Ya, Tuhanku?

Padahal jarak rumahku dengan masjid hanya lima menit jalan kaki, gak pakai lari sampai ngos ngosan. Itu bukan masjid perumahan, melainkan masjid umat. Masjid yang sudah berdiri sebelum perumahan di mana aku tinggal sekarang dibangun. Sebenarnya tak ada alasan tak ada warga lain yang bergegas ke masjid. Warga perkampungian di belakang perumahanku adalah kelompok yang sangat ingin memakmurkan masjid. Kegiatan hari besar yang dipusatkan di masjid biasanya dipenuhi warga kampung.


Atau orang orang yang tinggal di perumahan macam aku sudah dihinggapi virus malas? Suara kebaikan di telinga kananku berbisik. Kalau setiap hari tak bisa, cobalah selama Ramadan lebih banyak salat di masjid, Mas Bro. Lalu muncul niat kuat dalam hatiku. Semangat yang berkobar, tak hanya berkutat di batas otakku, namun sendi kaki rasanya bergairah. Setuju saja telapak kaki melangkah ke masjid yang sangat dekat itu.

Sarung sarung sudah dilaundry sebelum ramadan, demikian juga sajadahnya. Alquran selalu ada di samping televisi ruang tengah. Kesadaran tinggi itu menggeliat dalam hati. Sudah saatnya menendang kehadiran mahluk jahat yang hanya menawarkan kenikmatan sesaat. Lalu berjamaah di masjid, paling tidak saat maghrib. Bukankah makanan berbuka sudah pasti masih ada meski aku ke masjid dahulu untuk salat jamaah? Bukankah rasa masakannya tetap meski aku masjid lebih dahulu?

Suatu sore, aku sudah ingatkan anakku untuk ke masjid setelah meneguk minuman pembatal puasa. Namanya juga masih remaja, sudah tahu waktunya berbuka puasa dan bilal terdengar mengumandangkan azan. Khayya 'alassholaaaaaaat.... Tiba tiba anakku duduk di lantai, bersila, lalu mereguk minuman dingin cincau. Lalu dicomotnya tempe panas, dicocol di sambal dan begitu masuk mulut, terlihat ia tengah menikmati apa yang dimakannya.

Segelas air putih seharusnya cukup mengurangi dahagaku. Namun makanan itu terasa banget enaknya. Baru membayangkan, lho, belum mencicipi. begitu mencicipi, azan masjid semakin lirih terdengar. Lalu saat imam memimpin salat maghrib berjamaah, bersamaan dengan sahutan aamiin makmum, sendok sayurku berdenting menyentuh dinding mangkok sayur yang terbuat dari poselen.

Gusti Allah, ampuni aku. Kata orang salah satu cici manusia hidup adalah makan. Kalau aku menunda makan, salat maghrib jamaah, sepulangnya baru makan apa tidak lagi masuk kategori manusia? Tuhan, sore ini aku ingin ke masjid dahulu, semoga godaan godaan itu bisa aku hindari.

Post a Comment for "Masjid Itu Hanya Lima Menit Jalan Kaki"