Bakso Itu Ramai Sekali
Ada sebuah warung bakso yang ukurannya tak besar amat. Bangunannya hanyalah satu rumah sederhana yang awalnya memang diseting untuk warung. Tak butuh waktu bertahun tahun untuk membuatnya dikenal warga Tanjungpinang. Memenuhi jumlah pembeli, akhirnya di sebelah bangunan tadi dibuat atap dan empat tiang. Sudah, hanya seperti itu bangunannya.
Jangan harap bisa menikmati sajian baksonya jika datang jam 20 apalagi 21. Sudah ludes, bahkan tutup. Dulu, saat baru pertama buka yang biasa parkir di depan warung adalah sepeda motor penuh berisi plastik belanjaan. Beberapa bulan terakhir, yang parkir adalah sebuah Toyota Avanza baru keluaran diler. Alhamdulillah, kerja keras pemiliknya telah mengubah kehidupannya.
Tak ayal, warung bakso ini kerap menjadi buah bibir. Maklum, yang datang bukan hanya warga sekitar, melainkan nyaris semua wilayah Tanjungpinang pun ingin menikmati rasa bakso di warung ini. Suatu malam, beberapa teman mampir ke toko saya, toko stiker yang kebetulan memang saya buka sampai malam. Dari obrolan biasa akhirnya ada yang nyerempet warung bakso ini. Bukan lezatnya yang menjadi topik. Adalah sesuatu yang tak pernah saya pikirkan selama ini. Atau memang aku bukan orang yang suka menelisik urusan orang lain. Semua orang pasti memiliki tujuan dan pikiran masing masing.
Diantara teman yang ngobrol, ia dengan serius menceritakan bahwa pemilik bakso tersebut menggunakan pelet atau apapun. Sudahlah, jika sudah berbicara hal hal klenik seperti ini, bumbu pembicaraan pun menghangat. Apalagi ditaburi merica bubuk, ugh panas sekali pembahasannya. Aku hanya mendengarkan. Tak berani ikut bicara, meski hanya sekadar menyangkal. Tetapi akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya, apa memang ada yang tahu persis pemiliknya menggunakan cara tak lazim untuk memopulerkan baksonya tadi.
Teman yang antusias pun meruntut ke belakang. Ia tahu saudara saudara pemilkk warung bakso tadi. Seperti apa mereka dan bla bla bla. Namun bukti nyata dengan cara apa tidak dijawabnya. Ah, jangan jangan ia hanya mendengar selentingan orang lain. Selentingan yang intinya memiliki banyak alasan. iri mungkin, tak bisa sebesar warung itu mungkin, atau kemungkinan lain.
Aku ambil gelas yang masih berisi separo bandrek di depanku. Aku teguk. Lalu memilih diam sambil mendengarkan pembicaraan, namun tak lagi fokus. Biar terlihat ikut nimbrung. Pikirku, kalau setiap ada usaha yang awalnya kecil lalu besar dikaitkan dengan hal hal seperti itu, apa tidak habis pikiran kita hanya untuk memikirkan hal hal yang tak perlu seperti itu. Otak itu ada batasnya, kalau setiap waktu dibebani pikiran yang seharusnya bukan menjadi beban pikiran, apa tidak capek otak itu? Aku yakin orang sehebat Einstein pun pernah pusing memikirkan teori teorinya.
Dan malam berlanjut, aku memilih untuk membuang topik tadi dari otakku. Besok aku harus bekerja seperti biasa, masih ada yang harus aku kerjakan.
Jangan harap bisa menikmati sajian baksonya jika datang jam 20 apalagi 21. Sudah ludes, bahkan tutup. Dulu, saat baru pertama buka yang biasa parkir di depan warung adalah sepeda motor penuh berisi plastik belanjaan. Beberapa bulan terakhir, yang parkir adalah sebuah Toyota Avanza baru keluaran diler. Alhamdulillah, kerja keras pemiliknya telah mengubah kehidupannya.
Tak ayal, warung bakso ini kerap menjadi buah bibir. Maklum, yang datang bukan hanya warga sekitar, melainkan nyaris semua wilayah Tanjungpinang pun ingin menikmati rasa bakso di warung ini. Suatu malam, beberapa teman mampir ke toko saya, toko stiker yang kebetulan memang saya buka sampai malam. Dari obrolan biasa akhirnya ada yang nyerempet warung bakso ini. Bukan lezatnya yang menjadi topik. Adalah sesuatu yang tak pernah saya pikirkan selama ini. Atau memang aku bukan orang yang suka menelisik urusan orang lain. Semua orang pasti memiliki tujuan dan pikiran masing masing.
Diantara teman yang ngobrol, ia dengan serius menceritakan bahwa pemilik bakso tersebut menggunakan pelet atau apapun. Sudahlah, jika sudah berbicara hal hal klenik seperti ini, bumbu pembicaraan pun menghangat. Apalagi ditaburi merica bubuk, ugh panas sekali pembahasannya. Aku hanya mendengarkan. Tak berani ikut bicara, meski hanya sekadar menyangkal. Tetapi akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya, apa memang ada yang tahu persis pemiliknya menggunakan cara tak lazim untuk memopulerkan baksonya tadi.
Teman yang antusias pun meruntut ke belakang. Ia tahu saudara saudara pemilkk warung bakso tadi. Seperti apa mereka dan bla bla bla. Namun bukti nyata dengan cara apa tidak dijawabnya. Ah, jangan jangan ia hanya mendengar selentingan orang lain. Selentingan yang intinya memiliki banyak alasan. iri mungkin, tak bisa sebesar warung itu mungkin, atau kemungkinan lain.
Aku ambil gelas yang masih berisi separo bandrek di depanku. Aku teguk. Lalu memilih diam sambil mendengarkan pembicaraan, namun tak lagi fokus. Biar terlihat ikut nimbrung. Pikirku, kalau setiap ada usaha yang awalnya kecil lalu besar dikaitkan dengan hal hal seperti itu, apa tidak habis pikiran kita hanya untuk memikirkan hal hal yang tak perlu seperti itu. Otak itu ada batasnya, kalau setiap waktu dibebani pikiran yang seharusnya bukan menjadi beban pikiran, apa tidak capek otak itu? Aku yakin orang sehebat Einstein pun pernah pusing memikirkan teori teorinya.
Dan malam berlanjut, aku memilih untuk membuang topik tadi dari otakku. Besok aku harus bekerja seperti biasa, masih ada yang harus aku kerjakan.
Post a Comment for "Bakso Itu Ramai Sekali"