Mulut Bau di Depan Layar Smartphone
![]() |
Foto: diambil dari pinterest |
Alat komunikasiku pertama kali adalah telepon bambu. Batang bambu dipiting dengan panjang tak lebih dari 15 centimeter. Tak ada ruas di tengah sehingga mirip pipa. Diameter bambunya juga tak perlu besar, cukup di genggaman tangan. Selanjutnya setiap ujung potongan bambu ditutup plastik dan diikat di ujung potongan bambu. Mirip kendang kecil. Seutas benang jahit yang kuambil dari laci mesin jahit ibuku kuikatkan pada potongan lidi pendek. Panjang batang lidi ini harus lebih kecil dari diameter bambu. Lalu lidi tadi aku tusukkan di tengah plastik sehingga masuk semuanya. Jika ditarik lagi keluar benangnya, maka batang lidi akan mengunci. Di ujung potongan bambu lainnya, dilakukan hal serupa.
Jadilah telepon tradisional anak anak kampung. Corong telepon bambu dipegang teman di seberang lapangan, satunya aku pegang. Dengan alat inilah kami berkomunikasi. Tentu saja kalimat yang kami ucapkan sekadar guyon. Demikian juga saat kawan menjawab, yang terdengar adalah kalimat yang seadanya. Kami puas. Selesai bermain, benang kami gulung di badan potongan bambu tadi. Simpan, besok dimainkan lagi.
Saat aku kuliah, mulai mengenal internet. Itu pun harus antre di sebuah rumah makan yang hanya menyediakan satu komputer PC untuk disewakan. Informasi atau berita yang bisa dibaca masih sangat terbatas. Yang punya email waktu itu juga masih sangat sedikit. Selepas itu aku bekerja di sebuah kantor penerbitan koran. Wartawan baru belum dibekali ponsel, hanya pager. Alat komunikasi ini hanya bisa menerima pesan satu arah.
Biasanya Koordinator Lapangan (KL) -ku memberikan informasi kejadian yang harus diliput menggunakan pager. ia harus menelepon operator pager dan minta operator mengirimkan pesan atau perintah mencari berita. Pagerku bergetar, dan masuklah pesan dari kantor. Hanya ada satu warna, dengan tulisan hitam berjalan, persis running teks di layar televisi bagian bawah. Bila perintah kurang jelas, aku harus ke wartel untuk menelepon KL-ku.
Selanjutnya aku memiliki ponsel buatan Jerman. Masih monochrome, layarnya hanya kuning dan tulisan atau menu menunya menggunakan gambar hitam putih. Nada deringnya juga monophonic. Lalu muncul ponsel dengan layar berwarna, nada deringnya sudah polyphpnic. Toh fungsinya masih sekadar menelepon dan menerima pesan. Belum ada tetek bengek seperti media sosial, baru kemudian muncul ponsel yang bisa digunakan untuk akses internet.
Kini, belasan tahun berlalu, ponsel sudah menjadi smartphone. Internet bukan hal asing lagi bagi aku juga masyarakat. Orang orang yang merasa pintar pun mengumbar kepintarannya tersebut untuk menyalin informasi, tulisan yang menurutnya sesuai dengan keinginannya. Dengan tombol share dengan mudah tulisan itu pun menyebar. Takpeduli lagi apakah yang dishare itu berita atau hanya tulisan biasa. Tak peduli apakah yang dishare memenuhi unsur berita atau tidak, asal suka dan ingin share ya dilakukan.
Dahulu, ketika aku masih memainkan telepon bambu, kadang ada guyonan. Yang belum sikat gigi atau mulutnya masih bau pete atau jengkol biasanya tidak dipinjam corong bambunya. Soalnya jika ia bicara di corong, bekas bau mulutnya tidak langsung hilang. Padahal tidak semua teman suka pete atau jengkol. Tidak juga suka baunya hehe.
Sekarang, mulut bau bisa diwujudkan kedalam status di dinding facebook, cuitan di twitter, foto dan caption di instagram, path, pinterest, google +, whatsapp, bbm, messenger, line dan banyak sekali apilkasi sosial media. Tinggal unduh, instal, daftar... siap digunakan untuk menyebarkan aroma bau mulut. Sungguh, teman teman masa kecilku yang dulu menikmati telepon bambu kini juga bisa merasakan kemajuan teknologi informasi. Tak harus membeli smartphone mahal buatan negara negara yang sudah lebih dahulu disebut maju, smartphone lokal pun kini memiliki fasilitas nyaris sama.
Aku masih menghormati orang orang yang belum sikat gigi atau baru makan pete dan jengkol dengan keasyikannya bermain smartphone. Sayangnya, bau mulut tersebut kadang disalurkan juga melalui tulisan atau sekadar share di media sosial atau dunia maya. Celakanya, hampir semua orang kini memiliki smartphone. Ia tinggal mengetik informasi yang akan dicarinya lalu informasi yang dibutuhkan akan terlihat, tinggal pilih yang nama disuka. Celakanya lagi, informasi yang akan dibagikannya tidak dibaca secara menyeluruh. Hanya bagian awalnya, padahal jika dibaca tuntas mungkin ia akan berpikir untuk tetap meneruskan niatnya.
Artikel sampah, bau kepentingannya terlihat jelas, menghujat orang atau kelompok lain, mengadu domba, fitnah, menipu kini semuanya ada. Eksistensi kadang ditunjukkan dengan cara salah, menambah teman atau pengikut sebanyak banyaknya. Lalu pamer woi follower atau temanku sudah sekian jumlahnya. Hasilnya, satu kali posting atau cuitan akan terlihat di dinding mereka semua. Lalu oleh temannya dishare lagi. Wiiih... aku bukan orang yang menutup mata dengan berita atau postingan di media sosial. Sejak SD aku sudah terbiasa rebutan koran langganan ayahku dengan saudara saudaraku. Bahkan di dinding kakus kami di kampung, selalu terselip potongan potongan koran. Kalau kebelet dan ada yang mendesak ingin segera keluar, tak sempat menyambar koran yang ada di meja depan, ya sudah potongan potongan koran tadi kuambil, kubaca, padahal sebelumnya sudah kubaca.
Dan ketika salah satu akunku di media sosial dihack seseorang dan informasi tentang barang daganganku lenyap begitu saja, aku mencoba mencari tahu solusinya pelan pelan. Mencari informasi di internet, lalu mengirimkan email ke perusahaan pembuat media sosial tersebut. Aku jelas tak mendapatkan status atau komentar atau tulisan hasil share teman temanku selama kurang lebih sebulan belakangan, namun entah mengapa aku justru merasa lebih nyaman menjadi orang Indonesia seadanya. Memang bisa memilih status mana yang akan dibaca, tetapi jika ada judul judul yang menarik dan menggoda biasanya ya tetap kubaca juga. Padahal isinya aduuh.... tak bermanfaat sama sekali. Kini aku menunggu pembuat aplikasi tadi menerima permintaanku untuk membantu mengaktifkan akunku. Bukan untuk ikut share tulisan sampah, melainkan merawat daganganku yang sudah bertahun tahun aku kelola.
Bau mulut belum tentu bau di hati. Yang lebih celaka, bau hati yang tak bisa ditebak, karena mulut bisa saja mengunyah permen wangi sementara postingannya membuat orang lain tersakiti. Hanya sekadar tulisan ringan, selamat pagi sahabat...
Post a Comment for "Mulut Bau di Depan Layar Smartphone"