antre, antri, atau apalah namanya
Antre bisa berarti banyak rasa. Mengantre bus yang akan membawa jiwa dan raga ke hadapan pacar tercinta bisa hal yang menyenangkan. Namun saat antre di loket bank untuk bayar cicilan kredit yang sudah mepet jatuh temponya bisa juga menjengkelkan. Apalagi nasabah di depan kita membawa sekantong uang. Pecahan kecil pula. Wadow...
Satu kata yang terdiri lima huruf ini bukan hal gampang atau remeh temeh. Pernahkah Anda tiba tiba sakit perut namun mendadak pintu kamar kecil terkunci dari dalam. Teman kos, saudara terdekat atau sahabat ternyata sudah lebih dahulu menongkrongi toilet. Apa yang Anda lakukan? Jalan jalan sambil memegang perut dengan kedua telapak tangan? Berjingkat jingkat seakan akan lantai adalah duri duri tajam yang siap melukai kulit telapak kaki Anda? Ngomel panjang lebar karena "penghuni" kamar kecil tak juga keluar sambil meringis karena masih ada sepotong yang belum keluar, namun terpaksa memutusnya lantaran Anda menggedor gedor pintunya.
Antre juga bisa buat orang meninggal. Lah kan beberapa kali ada warga yang tewas terinjak, kehabisan nafas, terhimpit saat mengantre bantuan dari dermawan. Si dermawan tentu tak ingin niat tulusnya memberikan sedikit rezekinya untuk orang lain akhirnya berbuah duka. Menjelang hari hari besar keagamaan, aktivitas religius ini memang menjadi agenda tetap orang orang yang merasakan rezekinya cukup dan perlu dibagi kepada orang lain yang membutuhkannya.
Jangan sepelekan antre, karena pemerintah pun menggalakkan budaya ini. Tak asing kan dengan stiker di dinding kantor pelayanan umum? Mohon Antre. tetapi seperti biasa, di negara ini aturan dibuat untuk dilanggar.
Pagi ini ada sebuah berita di koran lokal tentang kejadian tidak diangkutnya sebuah mobil ke kapal roro karena tidak diparkir di jalur antrean. Padahal pemilik mobil bersikeras sudah membayar tiket keberangkatan sesuai nilai yang ditetapkan pengelola kapal penyeberangan roro. Begitulah antre. Mungkin ada orang yang berpikiran begini, yang penting sudah booking dan bayar, soal antre itu bisa diatur. Sementara ada juga yang berpikiran begini, sejatinya antre itu kehadiran. Biar pun sudah membayar, kalau orangnya tak ada di antrean, saat nomor antrenya dipanggil dan yang bersangkutan tak ada di tempat, ya ditinggal. Begitu orangnya nongol dan minta masuk barisan setelah pulang dari nonton teve di rumah, makan di rumah makan atau sekadar jalan jalan menghindari bosannya mengantre... ya dinasihati hahahaha.
Pelajaran bisa hadir lewat budaya antre. Saling menghormati atau merasakan penderitaan orang lain. Iyalah, kalau antrenya cuma tiga orang otot kaki tak capek. Apalagi anak anak muda. Kalau antrenya panjang dan berdesak desakan tentunya keihlasan itu menjadi sesuatu yang mahal. Coba bayangkan, ada ibu ibu hamil besar, orang lanjut usia, atau seorang ibu yang istirahat di kursi tunggu sementara posisi antreannya diwakili anaknya yang masih kecil, sementara yang tak ikut antre tiba tiba ke loket begitu tahu nomornya sudah terlewat.
Antre adalah nurani....
Satu kata yang terdiri lima huruf ini bukan hal gampang atau remeh temeh. Pernahkah Anda tiba tiba sakit perut namun mendadak pintu kamar kecil terkunci dari dalam. Teman kos, saudara terdekat atau sahabat ternyata sudah lebih dahulu menongkrongi toilet. Apa yang Anda lakukan? Jalan jalan sambil memegang perut dengan kedua telapak tangan? Berjingkat jingkat seakan akan lantai adalah duri duri tajam yang siap melukai kulit telapak kaki Anda? Ngomel panjang lebar karena "penghuni" kamar kecil tak juga keluar sambil meringis karena masih ada sepotong yang belum keluar, namun terpaksa memutusnya lantaran Anda menggedor gedor pintunya.
Antre juga bisa buat orang meninggal. Lah kan beberapa kali ada warga yang tewas terinjak, kehabisan nafas, terhimpit saat mengantre bantuan dari dermawan. Si dermawan tentu tak ingin niat tulusnya memberikan sedikit rezekinya untuk orang lain akhirnya berbuah duka. Menjelang hari hari besar keagamaan, aktivitas religius ini memang menjadi agenda tetap orang orang yang merasakan rezekinya cukup dan perlu dibagi kepada orang lain yang membutuhkannya.
Jangan sepelekan antre, karena pemerintah pun menggalakkan budaya ini. Tak asing kan dengan stiker di dinding kantor pelayanan umum? Mohon Antre. tetapi seperti biasa, di negara ini aturan dibuat untuk dilanggar.
Pagi ini ada sebuah berita di koran lokal tentang kejadian tidak diangkutnya sebuah mobil ke kapal roro karena tidak diparkir di jalur antrean. Padahal pemilik mobil bersikeras sudah membayar tiket keberangkatan sesuai nilai yang ditetapkan pengelola kapal penyeberangan roro. Begitulah antre. Mungkin ada orang yang berpikiran begini, yang penting sudah booking dan bayar, soal antre itu bisa diatur. Sementara ada juga yang berpikiran begini, sejatinya antre itu kehadiran. Biar pun sudah membayar, kalau orangnya tak ada di antrean, saat nomor antrenya dipanggil dan yang bersangkutan tak ada di tempat, ya ditinggal. Begitu orangnya nongol dan minta masuk barisan setelah pulang dari nonton teve di rumah, makan di rumah makan atau sekadar jalan jalan menghindari bosannya mengantre... ya dinasihati hahahaha.
Pelajaran bisa hadir lewat budaya antre. Saling menghormati atau merasakan penderitaan orang lain. Iyalah, kalau antrenya cuma tiga orang otot kaki tak capek. Apalagi anak anak muda. Kalau antrenya panjang dan berdesak desakan tentunya keihlasan itu menjadi sesuatu yang mahal. Coba bayangkan, ada ibu ibu hamil besar, orang lanjut usia, atau seorang ibu yang istirahat di kursi tunggu sementara posisi antreannya diwakili anaknya yang masih kecil, sementara yang tak ikut antre tiba tiba ke loket begitu tahu nomornya sudah terlewat.
Antre adalah nurani....
Post a Comment for "antre, antri, atau apalah namanya"