Modal dan Harapan
![]() |
Foto: www.inijie.com |
Ini kisah tentang teman dekat, saking dekatnya sudah seperti saudara bagiku. Selama ini ia bekerja sebagai tukang. Ia merenovasi rumah, membuat tambahan ruang dan sebagainya. Bertahun tahun ie menekuni pekerjaan ini dengan senang hati. Sementara sang istri bekerja di sebuah pusat perbelanjaan. Pola pikirnya mulai berubah tatkala usaha kecil-kecilan istrinya ternyata memberikan keuntungan secara finansial dalam keluarga yang belum dikaruniai anak ini.
Setelah berpikir matang, diskusi dengan teman-temannya, termasuk saya, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti sebagai tukang bangunan dan berencana membuat lapak penitipan kue kue dan jajan pasar di tepi jalan. Kebetulan juga istrinya memang hobi membuat makanan seperti itu. Klop. Sang istri mendukung sepenuhnya.
Hari hari berikutnya, temanku berkeliling kota untuk mencari lokasi berjualan yang dirasa memiliki potesi besar untuk berkembang. Beberapa tempat akhirnya menjadi pilihan. Kembali rapat sederhana dengan istri serta orang tuanya dilakukan. Sebuah lokasi di depan sebuah ruko dekat pusat kota akhirnya dipilih. Sayang, karena soal izin dengan pemangku kekuasaan di tingkat RT, tempat itu tak bisa ditempati. Pilihan lokasi kedua jatuh di samping kios stikerku.
Setelah bernegosiasi dengan pemilik lahan, temanku membangun lapak sederhana. Sementara pemilik lahan membantu asbes untuk atapnya. Untuk lapak tepi jalan, sebenarnya kios bakal tempat penitipan jajan pasar dan kue ini jauh dari seadanya. Ada dua meja panjang di bagian depan. Ukuran 3x3 meter cukuplah untuk usaha awal ini, menurutku. Karena temanku memangnya orangnya rapi dan bersih, pada bagian belakang pun ditutup terpal untuk menghalangi penglihatan pembeli ke pemandangan di belakang lapak. Sebenarnya di bagian belakang hanya ada halaman belakang rumah pemilik lahan dan daun serta ranting pohon mangga yang ditebang. Pohon ini sebelumnya ada di lokasi yang disewa temanku.
Tibalah saatnya, hari pertama berjualan. Tengah malam pasangan muda ini bekerja sama membuat sendiri aneka kue dan jajan pasar. Pagi buta, mereka menuju lapak harapan.
Hingga pukul 12.00, ada empat orang yang sudah mampir membeli dagangan mereka. Namun selepas jam itu, kegelisahan menggelayut di wajah temanku. Terasa benar ia seakan tertekan melihat dagangannya masih begitu banyak, belum dibeli orang. Temanku pun masuk ke toko stikerku dan mengatakan esok harinya ia memutuskan untuk berhenti berjualan. Alasannya istrinya tak ada waktu lagi untuk membuat kue, apalagi kalau banyak yang belum laku.
Aku, juga teman teman lain menyarankan agar bertahan. Temanku mungkin lupa, justru perjuangan untuk memulai itulah sebenarnya tantangan terbesarnya. Ia malu. Ia lupa bahwa empat pembeli di hari pertama adalah anugerah Tuhan baginya. Aku ingat saat mulai berjualan stiker kaki lima, beberapa tahun lalu. Laku satu lembar stiker saja rasanya sudah senang. Sementara temanku ini empat pembeli di hari pertama.
Begitulah kadang-kadang, bahkan bisa dikatakan kebanyakan. Seseorang yang hanya memiliki modal sedikit akan cepat resah dan putus asa saat usaha pertamanya tidak sesuai ekspektasinya. Harapannya terlalu melambung. Harapan ini dipicu oleh usaha lain sejenis yang begitu ramai di beberapa sudut jalan. Orang gampang lupa bahwa mereka yang sekarang usahanya ramai bukan sehari dua hari merintis. Butuh ribuan jam, jutaan menit untuk bisa bertahan.
Modal seadanya, harapan terlalu tinggi, kesabaran dan daya juang lemah, tak lain adalah penyakit bagi seseorang yang ingin mencoba mengawali usaha. Kini, lapaknya ditulisi disewakan. Menurut penuturan pemilik lahan, tempat ini sebenarnya pernah dipakai orang lain berjualan gorengan dan laku. Hanya saja, pedagangnya sudah meninggal dan tempat itu kosong. Bedanya pedagang lama itu hanya memarkir gerobak, sementara temanku membuat lapak.
Anda tertarik menyewanya atau hanya memiliki harapan yang terlalu tinggi?
Post a Comment for "Modal dan Harapan"