Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Setahun Silam

1 Agustus 2014, atau 3 hari lalu adalah hari di mana aku mengambil sebuah keputusan yang membuat banyak orang bertanya tanya. Setelah 13 tahun bekerja sebagai wartawan di grup koran raksasa tanah air, Jawa Pos, aku memutuskan untuk keluar.

Padahal, aku selalu ingat mengarang adalah bagian yang paling aku sukai sejak SMP. Andai jumlah siswa yang ingin masuk ke jurusan bahasa di SMAku cukup, aku akan menjadi salah satu penghuni kelas itu. Pun saat kuliah, di sela kegiatanku masih sempat aku kirimkan tulisan dan kartun ke sejumlah media.

Pun saat aku SD, hadiah dari majalah anak anak sudah menjadi bagian diriku. Mengapa aku nekat keluar?

Calon reporter, reporter, redaktur, koordinator liputan, redaktur pelaksana dan kepala perwakilan pernah aku jalani. Berbagai lomba tulis di grup pun beberapa kali menjadi pembuktian bahwa aku bukan wartawan yang hanya puas menulis, mengedit atau merancang letak berita. Aku suka dengan pekerjaan ini. Namun aku harus mengakui memiliki usaha sendiri akan lebih menyenangkan.

Uji Kompetensi Wartawan atau UKW dengan tim penguji wartawan senior dari Jakarta pun sudah aku jalani dan kartu UKW tingkat utama kini masih kusimpan sebagai kenang kenangan. Keinginanku sederhana..... aku ingin memiliki usaha yang sesuai bidangku yang lain. Kata ibu aku memiliki bakat melukis, menyanyi dan menulis. Melukis sudah kujalani dari SD hingga kuliah. Menyanyi sejak lomba mocopat di SD hingga kuliah dan sampai sekarang sesekali pergi ke karaoke keluarga. Menulis baru kuakhiri 1 Agustus tahun lalu.

Semua berawal dari sebuah siang. Saat aku harus salat zuhur di sebuah masjid agak buru-buru. Seorang pedagang siomay yang juga salat kulihat masih bisa tetap berdoa dengan tenang lalu berbaring sejenak sebelum meneruskan berjualan.

Dan aku harus buru buru ke kantor untuk menyiapkan halaman. Memilih berita yang layak di halaman utama, mengeditnya, memilih foto, dsb dsb. Aku ingin menjadi bos paling tidak untuk diriku sendiri.

Hari pertama pindah kantor, dari kantor koran ke kantor usaha stiker ada yang terasa janggal. Di media ada banyak kursi dan komputer sedangkan di kantor stiker hanya ada satu stiker dan dua kursi. Satu milikku lainnya untuk karyawanku yang melayani pembeli. Aku tuliskan di kaca etalaseku bagian depan..... tempa stiker bisa ditunggu. Mesin cutting aku taruh di depan sehingga pembeli bisa melihat.

Aku selalu mengawali hari dengan keyakinan dan harapan. Aku harus bisa mendapatkan gajiku di koran dari usahaku. Dan itu aku perjuangkan sekuatnya. Alhamdulillah, setiap hari saat aku menghitung omzet bisa kuingat pada hari ke berapa omzetku menyamai gajiku sebulan di koran.

Aku bersyukur. Ini kulakukan dengan banyak cara. Mengucapkan alhamdulillah di setiap kali barang laku atau listrik tak padam seharian. Mesin tak rewel. Pembeli senang stiker buatanku dsb dsb. Gampangnya bersyukur jika....... mau.

Kini aku bisa salat tepat waktu walau kadang agak telat. Aku bisa share pengalaman bisnis dengan teman yang memiliki prifesi sama yaitu wirausaha. Dan aku bisa merasakan seni mengelola orang. Aku harus bisa memahani tipe tipe karyawanku, yang satu dengan lainnya. Aku bisa merasakan kebahagiaan tatkala membayar gaji tepat waktu dan membayar THR mereka.

Aku berani memutuskan...... kapan kamu juga berani melakukannya? Niatkan saja kawan. Niat yang baik. Lalu berusaha sekuat tenaga. Saat merasa kerja keras sudah maksimal kuatkan di keyakinan Tuhan tak pernah tidur. Ada suatu masa di mana tangan Tuhan akan bicara dan jalan usahamu seakan dituntun ke gerbang keindahan. Percayalah......

Post a Comment for "Setahun Silam"