Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pulau Penyengat Go Internasional

Aku melihat turis asing berbaur dengan turis lokal hilir mudik menuju dan keluar dari Pelantar Penyengat di Tanjungpinang. Di antara mereka ada orang orang pintar yang datang karena ingin memelajari sejarah pulau yang memopulerkan Raja Ali Haji sebagai sastrawan dan cendekiawan pada zaman dahulu.

Salah satu karya agungnya Gurindam Dua Belas diakui atau tidak merupakan ajaran bagus untuk kehidupan manusia. Jika diamalkan tak ada perang, orang memerkosa hak sesama dan banyak tindakan tak terpuji. Apalagi di Penyengat masih berdiri Masjid Penyengat yang melegenda. Banyak pejabat negeri ini, termasuk sekelas presiden pernah mengunjungi pulau ini dan salat berjamaah.

Sebuah gapura indah membuat wisatawan merasakan pesonanya. Ukiran khas Melayu menghiasi gapura yang dibangun para arsitek dan seniman yang memahami nilai nilai Melayu. Sehingga gapura tak asal jadi. Dari pelabuhan turis sudah mendapatkan panduan ke mana harus melangkah untuk bisa sampai ke Penyengat. Para pedagang makanan dan cinderamata khas Melayu berjualan di kios kios indah yang dibangun pemerintah. Senyum para pedagang selalu menghiasi paras saat menyambut para turis. Sopan dan bersahabat.

Turis tak harus berdesakan masuk dengan turis yang keluar dari pelantar. Jalan masuk dan keluar dibangun terpisah. Ada polisi wisata yang mengawasi ketertiban para pengunjung. Jalan masuk dan keluar juga bersih dari parkir kendaraan yang membuat ruwet.

Sementara di ujung penyengat satu persatu turis mendapatkan nomor antrean untuk naik ke pompong yang akan membawanya ke Penyengat. Pompong pun tertib antre mengangkut turis. Meski hanya pompong kayu, namun tak melalaikan unsur keamanan. Ada pelampung. Mesin pompong pun halus terdengar. Nakhodanya mengenakan busana khas Melayu. Tak ayal turis asing pun tak malu malu foto selfie dengan para nakhoda. Tak ada pompong yang membawa penumpang melebihi kapasitas.

Tangga pelantar ke pompong juga didesain sedemikian rupa sehingga penumpang tak harus khawatir terjatuh.

Di ujung pelantar di Pulau Penyengat, gapura kedua juga tak kalah indahnya. Jalan masuk dipasang atap membuat perjalanan terasa nyaman. Sisi kiri kaban jalan masuk juga dipadati puluhan pedagang. Mereka tertib berjualan, tak saling sikat luas toko karena sudah diatur. Mereka fasih mengucapkan kalimat sapaan dalam bahasa asing. Cukup untuk membuat turis asing tertawan hatinya.

Di depan tangga masjid, becak motor bersiap mengantarkan turis yang ingin mengelilingi sejumlah situs bersejarah. Jalan menuju tiap tiap situs dibangun dengan desain mengagumkan. Becak motor yang dipakai diseragamkan. Dibantu pemerintah. Pengemudinya juga ramah ramah, sopan dan dengan jelas memandu wisatawan dengan kecakapan bak guide.

Ada tempat kuliner yang tertata apik. Toiletnya bersih dan tak ada kesan jorok sedikit pun. Turis bisa memilih makanan khas Melayu yang ingin dicoba. Setiap menu makanan dicantumkan dibuat dari bahan apa. Harganya tak berbeda untuk turis asing dan lokal.

Ada tempat bermain anak anak saat ayahnya salat di masjid. Ada tempat penitipan alas kaki atau barang lain gratis dan dijaga keamanannya. Petugas petugas profesional siap melayani permintaan turis yang tujuannya mengungkap sejarah. Bahasa asing mereka lancar tak hanya little little can he he he.

Sayang bayanganku buyar ketika saudaraku sekampung yang tinggal di Batam, Ali Mahmudi (namanya memang mirip, cuma lebih panjang namaku satu kata di awal) meneleponku tadi sore. Ia meneleponku setelah sebelumnya aku kirim pesan singkat minta maaf terpaksa tak bisa menunggu kedatangannya dari Penyengat. Rencananya kami ingin berjumpa karena lama tak jumpa.

Antrean naik pompong payah katanya. Jalan masuk pelantar yang sebelumnya dilewatinya juga terlalu kecil. Kios cinderamatanya tak menarik. Baik bangunan maupun isinya. Ah...... ya sudahlah, impianku memiliki destinasi wisata yang mendunia kuakhiri.

Post a Comment for "Pulau Penyengat Go Internasional"