Surga Ibu di Bawah Kaki Ayah
![]() |
Ilustrasi www.mansfieldy.org |
Kembali ke slogan di atas, mungkin tak semuanya setuju. Dan tentu juga ada banyak alasan mengapa tak bisa menerima slogan Surga Ibu di Bawah Kaki Ayah. Coba ditanyakan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga yang melaporkan suaminya. Yang merasa disakiti karena suaminya selingkuh, yang tak pernah memberikan nafkah lahir, yang ogah-ogahan memberikan nafkah batin (padagal saat baru menikah rajinnya.....), yang menempeleng pipi istrinya karena ada pesan biasa dari seseorang namun dianggap ruar biasa oleh suami dan sebagainya.
Sebenarnya KDRT juga banyak dialami lelaki, tetapi yang lebih sering itu perempuan. Nah, bagi mereka yang pernah mengalami kekerasan ini, tentu ogah jika harus mengakui slogan tersebut. Karena menganggap dirinya mahluk yang superior, ada kalanya seorang istri tak pernah benar, tak pernah diberikan kesempatan untuk mengekspresikan kemampuannya, bakatnya atau pikirannya. Padahal aturan KPU 30 persen caleg harus diisi kaum perempuan (apa hubungannya hehe).
Jika semuanya berjalan sesuai aturan, tentu tak ada salahnya bagi seorang istri menghormati suaminya. Suaminya akan mendekapnya jika hati istri sedih, suami akan bekerja keras mencukup kebutuhan istri dan anaknya, suami tak menjadikan istri hanya sebagai objek yang senantiasa lebih rendah di semua sisi. Mungkin di sinilah peranan suami akan menentukan apakah pasangannya akan dengan ikhlas menemaninya dunia akhirat. Siapa suami yang tak ingin di saat ia meninggal istrinya menangis seperlunya sambil membacakan doa dan mengakui: suamiku, engkaulah lelaki terbaik yang pernah aku kenal. Tak sia-sia aku memilihmu, engkau dengan setia menjadikan aku makmummu, mengajari aku, menuntunku. Engkau bahagiakan keluargamu dengan rezeki yang halal dsb dsb.....
Ketika kehidupan adalah proses yang dinamis, terkadang kedinamisan itu berlangsung di luar jalur. Saling menghormati menjadi sesuatu yang sangat sulit dipertahankan, saling curiga. Teknologi seperti gadget, ponsel, smartphone bukan lagi media untuk mempermudah komunikasi, melainkan menjadi jembatan yang memercikkan api pertikaian dalam rumah tangga. Zaman memang semakin payah, jika mengutip lagu Rhoma Irama ada yang liriknya seperti ini: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Bagi aku ada benarnya. Betapa banyak suami sudah bekerja keras untuk sekadar menjadi kaya bagi dirinya, bisa membeli beras untuk hari itu, membeli susu untuk bayinya, memberi uang saku untuk anaknya sekolah. Itulah batas kemampuannya, ketika sudah berangkat pukul 06.00 WIB dan pulang ke rumah pada malam hari. Kadangkala istrinya hanya tahu satu hal: mana uang belanja, Baaaaaaaang!!!
Atau seorang istri yang sudah capai menjaga tiga buah hatinya yang masih balita, sementara suaminya bekerja seharian untuk mencari nafkah. Begitu pulang si suami ngomel-ngomel ketika melihat salah satu anaknya belum dimandikan. Si istri yang keluar cepat-cepat masih basah tangannya oleh sabun cucian piring. Si suami hanya tahu, ia bekerja keras, Tetapi ia tak pernah tahu betapa capainya memasak, mencuci setumpuk pakaian balita, menidurkan siang, mencuci piring, mengepel lantai dan kesibukan lain.
Selalu sulit untuk melakukan sesuatu yang baik. Semoga akan selalu ada istri yang menyadari surga ibu di bawah kaki ayah. Karena ia merasakan kedamaian hidup bersama pasangannya. Ketika ia menurut bukan bentuk kekalahan melainkan ketaatan yang tak pernah dijadikan alasan suaminya untuk merasa lebih tinggi. Semoga akan selalu ada suami yang memerankan hidupnya sesuai keinginan wajar istrinya. Saling mendukung dan saling menghormati, semoga....
Post a Comment for "Surga Ibu di Bawah Kaki Ayah"