Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Terlambat Lebih Baik daripada Tidak

Andreas dengan paddock mininya. F-adly bara hanani
Bagi Didit, warga Tanjungpinang, kalimat bijaksana yang diciptakan para cerdik cendekia: terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali benar-benar menginspirasinya. Wujudnya berupa komunitas yang diberi nama Tanjungpinang Tamiya Community (TCC). Dan Minggu (3/1/2013) tadi komunitas ini menyelenggarakan kejuaraan tamiya untuk pertama kalinya di ibu kota Provinsi Kepri ini.

Penyelenggaraan lomba ini sekaligus memberitahu kepada para penggemar tamiya di Pulau Bintan pada khususnya atau Kepri pada umumnya bahwa Tanjungpinang memiliki komunitas penggemar tamiya serta arena balap mobil listrik mini ini.

Tua, muda, semua sama. F-adly hanani
Kejuaraan ini diikuti 12 peserta, enam dari Tanjungpinang dan sisanya dari Batam. Begitulah perjuangan yang harus dilakukan seorang Didit. Perjuangan ini penting baginya juga para penggemar tamiya yang sebelumnya mungkin bingung mau main di mana. Atau merasa mobil rakitanya paling kencang di ruang tamu, padahal bisa jadi paling lemot saat beradu cepat dengan peserta lain. Sementara bagi Didit, ia mendapatkan pelampiasan bakat yang sudah sejak kecil digelutinya.

Ada 120 race yang dipertandingkan panitia. “Masih banyak yang belum tahu di Tanjungpinang ada komunitas penggemar tamiya serta arena resminya di sini,” tutur Didit.

Sengaja dipilih hari libur karena penggemar Tamiya memiliki latar belakang pekerjaan yang beragam. Andreas misalnya, ia adalah pemilik konter tamiya di Batam. Sengaja datang dengan teman-temannya untuk mempererat persaudaraan. Soal menang atau kalah itu tak begitu dipikirkannya, yang terpenting ia bisa menambah persaudaraan.

Di sisi kanan arena, Heri Sutarto bersiap-siap mengikuti race berikutnya. Lelaki warga Tanjungpinang berusia 57 tahun ini senang di Tanjungpinang ada komunitas tamiya. Guru di sebuah SMA di Tanjungpinang ini mengaku sejak umur 17 tahun sudah mengenal tamiya.


Sutarto yang kelahiran Surabaya ini kemarin datang dengan kaos dan celana pendek, “seragam” yang tak mungkin dikenakannya saat mengajar. Tamiya baginya merupakan hobi untuk menjaga pikirannya tetap tenang dan santai.

Balap tamiya di Batam, Medan, Pekanbaru, Palembang pernah diikutinya. Untuk luar negeri, ia pernah menjajal Malaysia dan Singapura. Namun ia mengaku belum pernah juara satu. “Paling dua atau tiga,” ujarnya terkekeh. Sementara cucunya juga sibuk melihat keseriusan kakeknya merakit tamiya.

Menikmati lomba tamiya ialah menyaksikan bagaimana manusia beragam usia duduk berderat di atas lantai dekat arena lomba. Mereka duduk beralaskan kardus, tikar, koran dan sebagainya. Tiap-tiap orang lalu berada di paddock masing-masing. Begitulah, seperti F1 ada paddock. Paddock mini ini tak ubahnya bengkel para penggamar tamiya. Mereka merangkai komponen tamiya, menyolder, menggulung kumparan, memasang penutup tamiya dan sebagainya di sini. Mereka mengoprek dengan kemampuannya masing-masing.

Berantakan itu pasti, ada obeng di sana-sini, ada charger baterei buatan sendiri dengan lampu menyala terang di bawahnya. Beberapa bagian komponen tamiya ada di sekeliling pemilik paddock tamiya. Sambil mengotak-atik “mesin” antar peserta bercanda. Ada yang membawa serta istri dan anak-anaknya.

"Kalau di Batam bapaknya lomba, istrinya arisan dan anak-anaknya bermnain,” tambah Andreas.

Bisa dikatakan pertemuan penggemar tamiya lebih ke kegiatan menambah teman. Tak salah jika penggemar tamiya seperti Didit sudah pernah menyambangi sejumlah kota di Jawa saat ada lomba tamiya. Dari sisi status sosial ekonomi, penggemar tamiya banyak yang sudah mapan dan berprofesi tetap. Untuk membeli tamiya tentu bukan hal sulit, karena untuk satu tamiya rakitan standar bisa dimiliki di bawah Rp1 juta.

“Senang saja mendampingi suami ikut lomba, banyak teman,” ujar seorang istri penggemar tamiya yang ikut melayani suaminya mengambilkan komponen yang dibutuhkan saat perakitan.

Satu race yang berlangsung delapan putaran bukan waktu yang lama. Yang lama justru mengotak-atik “mesin” tamiya bias kencang di lintasan. Ketawa lepas dan saling sindir nsudah biasa di sini. Seperti kemarin, saat melaju tiba-tiba tamiya seorang peserta terlampar keluar lintasan. Roda di sana, dinamo di sini dan bagian lain di sudut lain. Semuanya tertawa dan bergembira.

 Juara pertama lomba ini diraih Yupi dari Batam, disusul Siox juga dari Batam sedangkan juara tiga diraih Tito dari Tanjungpinang.

Begitulah Didit, jika berpikir terlambat tak ada gunanya mungkin TCC tak terbentuk di Tanjungpinang.***

2 comments for "Terlambat Lebih Baik daripada Tidak"

  1. Mas, ada nmor yg bisa di hubungi ? Sy juga pencinta tamiya dari kijang. Sy bru tau tentang komunitas tamiya di tanjungpinang ini. Sy ingin bergabung. Jdi mohon infonnya mas

    ReplyDelete
  2. datang ke tamiya speed shop aja depan kantor pos batu 2
    saya juga penggemar

    ReplyDelete