Kisah tentang Reno
Reno tak berpendidikan tinggi. Paling tinggi SMA. Perantau asal Purbalingga, Jawa Tengah ini awalnya bekerja sebagai sopir di sebuah hotel di Kota Batam. Tiga bulan lalu ia mendapatkan kabar dari abang kandungnya yang ada di Tanjungpinang. Kabar yang lebih tepat disebut tawaran: mau tak berjualan mi ayam.
Sebuah lokasi jualan di depan sebuah bengkel, kawasan Bintan Center, Batu 9, Tanjungpinang yang disewakan pedagang sebelumnya dibayar. Sewanya per tahun. Sebelum membuka kedainya, Reno belajar cara membuat bakso dan mi ayam dari pedagang yang menyewakan tempatnya itu. Kurang lebih seminggu Reno menghabiskan harinya dengan belajar memasak.
Akhirnya Reno grand opening. Namanya juga pedagang baru, belum memiliki pelanggan sama sekali. Hari demi hari, minggu berlalu, hitungan bulan pun mulai berjalan. Di beberapa waktu aku sering berbincang dengan lelaki muda ini. Ia mengaku, jika dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya, ia merasakan betapa capainya pekerjaan yang sekarang. Jam 4 sore ia harus mengambil gerobak plus tenda dan kursi yang dititpkan di rumah dekat tempat jualannya. Lebih sering ia melakukannya sendiri. Belum lagi jika malam ia harus mengulangi aktivitas tadi. Bedanya jika malam ia membongkar warung tendanya yang hanya tersedia 10 kursi makan.
Reno bercerita, betapa seringnya ia mendapatkan tips dari tamu hotel yang diantarnyya. Bajunya juga bersih. Selalu di balik kemudi, memiliki banyak teman. Namun saat menjadi penjual mi dan bakso, ia harus banting tulang, beberapa kali terlihat ia kurang tidur. Suatu jawaban lugu membuat aku tergugah. Reno, beberapa malam lalu hanya mengatakan: saya senang menjadi kepala semut daripada ekor naga.
Reno merasa lebih menikmati hidupnya sebagai pedagang bakso dan mi ayam tetapi miliknya sendiri ketimbang bertahan di hotel namun statusnya buruh. Dengan pola pikir sederhananya, lelaki yang masih melajang ini bercerita, ada yang lebih rumit menjadi bos bagi dirinya sendiri ketimbang saat masih bekerja dengan orang lain. Jika menjadi usaha sendiri, ia membuat aturan sendiri. Jika ingin mendapatkan hasil yang lebih, ia harus melayani pembeli dengan lebih ramah, menyediakan bahan lebih banyak yang artinya ia juga bekerja lebih keras di dapur, membuka warung tendanya lebih cepat dan sebagainya.
Sementara saat bekerja dengan orang lain, aturan itu bagaikan kerangkeng yang siap menghukumnya. Terlambat sedikit ada peringatan, salah sedikit potong gaji, keberhasilan jarang dipandang sebagai keberhasilan dan masih banyak lagi. Satu lagi yang membuat aku harus lebih banyak belajar dari seorang bernama Reno. Saat ia istirahat di sela-sela melayani pembeli, diambilnya koran. Kadang koran bekas, lalu dibacanya pelan-pelan.
Begitu berharganya koran bekas itu bagi Reno. Sementara kita yang bisa membeli mjajalah baru atau koran baru kadang membelinya untuk sebuah alasan: ingin dianggap suka membaca. Padahal di rumah koran tadi menumpuk dan setiap bulan mengisi kotak tukang sampah di rumah kita untuk dikilo. Selalu ada pelajaran dari orang lain, tak peduli ia tak sehebat kita sekolahnya, tak sesukses kita dari materi dan lainnya....
![]() |
Ilustrasi. Foto: aditiobawono.blogspot.com |
Akhirnya Reno grand opening. Namanya juga pedagang baru, belum memiliki pelanggan sama sekali. Hari demi hari, minggu berlalu, hitungan bulan pun mulai berjalan. Di beberapa waktu aku sering berbincang dengan lelaki muda ini. Ia mengaku, jika dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya, ia merasakan betapa capainya pekerjaan yang sekarang. Jam 4 sore ia harus mengambil gerobak plus tenda dan kursi yang dititpkan di rumah dekat tempat jualannya. Lebih sering ia melakukannya sendiri. Belum lagi jika malam ia harus mengulangi aktivitas tadi. Bedanya jika malam ia membongkar warung tendanya yang hanya tersedia 10 kursi makan.
Reno bercerita, betapa seringnya ia mendapatkan tips dari tamu hotel yang diantarnyya. Bajunya juga bersih. Selalu di balik kemudi, memiliki banyak teman. Namun saat menjadi penjual mi dan bakso, ia harus banting tulang, beberapa kali terlihat ia kurang tidur. Suatu jawaban lugu membuat aku tergugah. Reno, beberapa malam lalu hanya mengatakan: saya senang menjadi kepala semut daripada ekor naga.
Reno merasa lebih menikmati hidupnya sebagai pedagang bakso dan mi ayam tetapi miliknya sendiri ketimbang bertahan di hotel namun statusnya buruh. Dengan pola pikir sederhananya, lelaki yang masih melajang ini bercerita, ada yang lebih rumit menjadi bos bagi dirinya sendiri ketimbang saat masih bekerja dengan orang lain. Jika menjadi usaha sendiri, ia membuat aturan sendiri. Jika ingin mendapatkan hasil yang lebih, ia harus melayani pembeli dengan lebih ramah, menyediakan bahan lebih banyak yang artinya ia juga bekerja lebih keras di dapur, membuka warung tendanya lebih cepat dan sebagainya.
Sementara saat bekerja dengan orang lain, aturan itu bagaikan kerangkeng yang siap menghukumnya. Terlambat sedikit ada peringatan, salah sedikit potong gaji, keberhasilan jarang dipandang sebagai keberhasilan dan masih banyak lagi. Satu lagi yang membuat aku harus lebih banyak belajar dari seorang bernama Reno. Saat ia istirahat di sela-sela melayani pembeli, diambilnya koran. Kadang koran bekas, lalu dibacanya pelan-pelan.
Begitu berharganya koran bekas itu bagi Reno. Sementara kita yang bisa membeli mjajalah baru atau koran baru kadang membelinya untuk sebuah alasan: ingin dianggap suka membaca. Padahal di rumah koran tadi menumpuk dan setiap bulan mengisi kotak tukang sampah di rumah kita untuk dikilo. Selalu ada pelajaran dari orang lain, tak peduli ia tak sehebat kita sekolahnya, tak sesukses kita dari materi dan lainnya....
Post a Comment for "Kisah tentang Reno"