Kegigihan Sejoli Bisu
Sebut saja namanya Rahmat dan Indah. Mereka adalah perantau dari Tanah Pasundan, tiga tahunan silam menginjakkan kainya ke Tanjungpinang. Sama seperti kebanyakan perantau yang ingin bekerja di sektor informal, Rahmat dan Indah membawa modal untuk jualan kaki lima. Di usia mereka yang belum 35 tahun, kemapanan ekonomi sudah mulai terlihat.
Memilih satu tempat sempit, tak kurang dari 1x2 meter di depan Rumah Makan Rina-Rini, Batu 9, Bintan Center, pasangan suami istri ini mencari rezeki. Ketika tahun baru tiba- Rahmat membuat terompet. Bukan hanya untuk dijual sendiri, melainkan turut dipasarkan oleh pedagang lain. Ada yang dijual putus, ada juga yang memilih bagi hasil. Begitu terompet habis masanya, barang ini disimpan Rahmat di rumah kontrakannya, dekat Perumahan Mahkota Alam raya.
Lalu, Rahmat dan istrinya membuka bakso dan sosis goreng. Tentu bukan lantaran keduanya bisu sehingga dagangannya laku. Mereka adalah manusia-manusia ramah yang tak pernah memandang kelemahannya sebagai sesuatu yang merugikan. Kelemahan itu mereka tutupi dengan rajin bercakap dengan pedagang kanan-kirinya, mseki (tentu saja) menggunakan bahasa isyarat. Ditambah satu fitur berupa murah senyum, keduanya cukup dikenal di bilangan Batu 9.
Beberapa malam menjelang lebaran 1 Syawal 1433 Hijriyah, Rahmat membelanjakan Rp10 juta uang tabungannya berjualan untuk membeli mainan anak-anak. Yang dipilihnya senapan mainan. Ia membuka lapak di sebelah istrinya yang diserahi mengurus sosis dan bakso goreng. Insting si bisu ini tak meleset, dagangan yang dibelinya dari Jakarta laris manis.
Untuk menjalin kedekatan dengan sesama pedagang, Rahmat cukup jeli memanfaatkan segala yang ada padanya. Salah satunya mengajak pedagang lain bermain catur sambil menunggu pembeli. Lewat bidak-bidak catur, persahabatan itu terjalin.
Suatu hari, di dekat pasangan ini berjualan ada kecelakaan. Seorang pengendara sepeda motor terserempet mobil. Karena pengendara motor bisu, pemilik mobil bingung menerjemahkan apa yang ingin disampaikan orang yang sudah terserempat kendaraannya. Beruntung ada Rahmat dan istrinya yang dengan sabar memberikan penjelasan. Karena terbiasa menghadapi sesuatu dengan ketenangan, keduanya bisa memberikan keterangan tak ubahnya orang tanpa kelamahan bicara.
Sekarang, lapak tempat Rahmat dan Indah berjualan menjadi markas tak resmi sejumlah penyandang tuna wicara untuk saling berbagi.
Memilih satu tempat sempit, tak kurang dari 1x2 meter di depan Rumah Makan Rina-Rini, Batu 9, Bintan Center, pasangan suami istri ini mencari rezeki. Ketika tahun baru tiba- Rahmat membuat terompet. Bukan hanya untuk dijual sendiri, melainkan turut dipasarkan oleh pedagang lain. Ada yang dijual putus, ada juga yang memilih bagi hasil. Begitu terompet habis masanya, barang ini disimpan Rahmat di rumah kontrakannya, dekat Perumahan Mahkota Alam raya.
Lalu, Rahmat dan istrinya membuka bakso dan sosis goreng. Tentu bukan lantaran keduanya bisu sehingga dagangannya laku. Mereka adalah manusia-manusia ramah yang tak pernah memandang kelemahannya sebagai sesuatu yang merugikan. Kelemahan itu mereka tutupi dengan rajin bercakap dengan pedagang kanan-kirinya, mseki (tentu saja) menggunakan bahasa isyarat. Ditambah satu fitur berupa murah senyum, keduanya cukup dikenal di bilangan Batu 9.
Beberapa malam menjelang lebaran 1 Syawal 1433 Hijriyah, Rahmat membelanjakan Rp10 juta uang tabungannya berjualan untuk membeli mainan anak-anak. Yang dipilihnya senapan mainan. Ia membuka lapak di sebelah istrinya yang diserahi mengurus sosis dan bakso goreng. Insting si bisu ini tak meleset, dagangan yang dibelinya dari Jakarta laris manis.
Untuk menjalin kedekatan dengan sesama pedagang, Rahmat cukup jeli memanfaatkan segala yang ada padanya. Salah satunya mengajak pedagang lain bermain catur sambil menunggu pembeli. Lewat bidak-bidak catur, persahabatan itu terjalin.
Suatu hari, di dekat pasangan ini berjualan ada kecelakaan. Seorang pengendara sepeda motor terserempet mobil. Karena pengendara motor bisu, pemilik mobil bingung menerjemahkan apa yang ingin disampaikan orang yang sudah terserempat kendaraannya. Beruntung ada Rahmat dan istrinya yang dengan sabar memberikan penjelasan. Karena terbiasa menghadapi sesuatu dengan ketenangan, keduanya bisa memberikan keterangan tak ubahnya orang tanpa kelamahan bicara.
Sekarang, lapak tempat Rahmat dan Indah berjualan menjadi markas tak resmi sejumlah penyandang tuna wicara untuk saling berbagi.
Post a Comment for "Kegigihan Sejoli Bisu"