Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kesedihan Itu

Ketua Komunitas Perupa Tanjungpinang (Komperta), Sakdu,
saat acara lelang lukisan di panggung hiburan Paek 2012.
Bukan Tanjungpinang tak memiliki perupa. Buktinya saat penyelenggaraan Pekan Aksi Ekonomi Kreatif (PAEK) 2012 yang berakhir 23 Juni lalu, tiba-tiba mereka berkumpul di lapangan kebanggan warga ibu kota Provinsi Kepri ini. Mereka bukan hanya pengunjung pameran, seperti sebagian besar manusia yang datang ke tempat ini. Mereka, para perupa ikut ambil bagian dari agenda tahunan yang digagas Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tanjungpinang ini.

Mereka gembira. Tetapi saya sendiri tak tahu apa yang membuat mereka gembira. Mungkin karena bisa berkumpul bersama di suatu tempat. Mungkin juga karena mendapatkan satu stan dari panitia, lokasinya di ujung, sudut pintu masuk persis pameran. Begitu pengunjung memasuki lapangan utama pameran, akan langsung berhadapan dengan stan ini. Begitu berbeda, karena tanpa dinding, dinding sebelah saja, berbatasan dengan dinding stan sebelahnya, digantungi berbagai lukisan. Di halaman stand berjejer meja gambar. Lalu di atas meja yang memang disediakan paniria, satu stan satu meja, tergantung selembar kertas berwarna gelap. Ada dua gambar wajah di kertas tadi, dilengkapi keterangan: lukis wajah warna sekian rupiah, hitam putih sekian rupiah.

Lalu pada malam kedua pameran, perupa-perupa Tanjungpinang "berpesta" dengan menuangkan segala keresahannya selama ini. Puluhan kanvas juga tripleks yang sudah diberi cat dasar putih memenuhi tengah lapangan. Siapa saja boleh melukis. Boleh beraliran apa saja. Cat dan kanvas, kecuali kuas, disediakan panitia. Gratis. Dan malam itu saya merasakan langit pamedan berseri karena aktivitas para perupa.

Saat pameran berakhir, berakhir juga kebahagiaan itu. Bukan karena tak bisa demonstrasi melukis di depan publik. Semua karena keinginan para perupa mendapatkan wadah yang bisa dijadikan tempat diskusi. Tempat ngobrol soal seni, berdebat sekaligus workshop. Para perupa iri melihat perupa di kota lain tinggal menunggu undangan kapan pameran dan sebagainya.

"Pelukis itu kebanyakan tukang gambar. Ia pabriknya. Seharusnya ada pemasaran atau marketingnya," tutur seorang perupa yang siang itu, saat pameran masih berlangsung asyik melukis kapal di atas gelombang di media kanvas.

Tetapi sesabaran para perupa Tanjungpinang memang masih diuji. Jangankan mendapatkan tempat yang nyaman untuk berkarya atau berdiskusi, untuk membeli material saja mereka kadang harus menyeberang lautan. Kalau di Batam pun materialnya tak ada, mau tak mau harus ke Jawa. Tentu bukan membeli langsung, lewat transfer. Begitulah kondisinya....

Post a Comment for "Kesedihan Itu"