Menyambut Hari
foto: adly bara hanani
Selama sekian waktu menjadi wartawan, salah satu yang menarik adalah saat aku wawancara nelayan tradisional. Mereka orang-orang yang tangguh, menghadapi lautan untuk menghidupi keluarganya. Tetapi dunia memang membutuhkan pembangunan. Gedung-gedung baru dibangun, hutan hijau disulap menjadi kompek bisnis berlantai lantai. Perumahan dibangun besar-besaran melibatkan begitu banyak pengembang. Semuanya melukai kulit bumi dan acapkali pantai.
Nelayan menjadi bagian paling tersakiti ketika tempat makan mereka yang semula membiru tiba-tiba kuning keruh. Udang dan ikan takut mendekat, atau malah mati lebih dulu. Nelayan adalah mereka yang hidup di pantai, di pesisir, di hinterland. Butuh waktu menempuh perjalanan untuk bisa menjumpai mereka, kecuali mereka melancong ke kota. Belum lagi stigma kita yang biasa menyebut kelompok ini kaum pinggiran. Sudahlah, sampai kapan yang di pinggiran. Informasi yang masuk ke mereka sepenggal-sepenggal. Seperti bantuan pemerintah yang begitu sering diterima tah utuh. Bahkan kadang informasi tak cuma sepenggal, tetapi tak dapat sama sekali.
Mereka yang dilahirkan dari rahim perempuan istri seorang nelayan sudah mewarisi darah pejuang. Lautan menjadi teman bermain ketika kaki mungil bisa melangkah. Berkecipak di dangkal air laut di belakang rumah, hingga si ibu berteriak-teriak. Lautan adalah bagian dari jiwa nelayan. Teringat ketika sejumlah nelayan mengadu ke wakil rakyat, membeberkan bagaimana mereka harus memberikan upeti kepada para petugas di tengah laut. Alasannya bisa bermacam-macam.
Ada juga nelayan berkali-kali ke kantor gubernur ketika sampan mereka akhirnya menjadi barang tiada guna. Ketika sebuah jembatan bernilai miliaran membentang di atas rumah mereka, menyatukan dua pulau dengan pongah, nelayan justru menangis. Sebelum ada jembatan, sampan mereka dengan setia menyeberangkan penumpang dari dan ke pulau seberang. Kini, saat sampan istirahat dengan terpaksa di belakang rumah, deru kendaraan mengalir di atas jembatan yang dibangun dengan biaya yang sedikit banyak dikemplang.
Namun aku bangga setiap kali jalan menyaksikan nelayan menyambut pagi dengan menebar jaring. Paling tidak mereka masih memiliki harapan. Meski iakn yangditangkap hari itu hanya beberapa ekor. Masih kuingat lagu yang diajarkan ibuku: nenek moyangku seorang pelaut.... memang bukan menyebut nelayan, tetapi saya anggap mereka sama-sama mencintai laut, mencintai alam, mencintai ciptaan-Nya.
Post a Comment for "Menyambut Hari"