Apalah Arti Seekor Anak Kucing
Ilalang, anakku semata wayang baru pulang dari sekolah, pukul 12.30 WIB siang itu, ketika seekor anak kucing yang usianya tak lebih dari dua bulan ikut masuk ke rumah. Entah dari mana hewan kumuh itu datang, namun ia ikut berhenti ketika anakku duduk untuk melepas sepatunya. Di tengah pekerjaanku, aku berhenti, bermaksud menghalau hewan berbulu hitam, putih dan cokelat itu.
"Biarkan saja, Yah," seru Ilalang, "dia tadi ngikut dari dekat sekolah."
Mendengar jawaban anakku, aku urungkan niat. Padahal sudah terbayang hewan kecil itu akan kulempar ke belakang rumah yang ditumbuhi rumput liar. Di sana, sering aku lihat beberapa ekor kucing dewasa setia menunggu sisa-sisa makanan yang kubuang ke tempat sampah. Biasanya ada dua atau tiga ekor.
Hari-hari berikutnya, kucing itu kubiarkan masuk ke rumah. Ilalanglah yang paling rajin memberinya makan, tulang-tulang ayam bekas lauk makannya, potongan kerupuk yang dibelinya di warung tetangga. Memang tidak dibeli khusus untuk kucing yang hingga hari ke enam masih belum menarik perhatianku, kerupuk itu untuk dimakan Ilalang, baru diberikannya ke kucing beberapa potong ketika hewan yang hanya mampu bersuara meong meong itu mendekatinya.
Sebenarnya hatiku kurang senang melihat kucing di rumah. Bagaimana kalau ia tiba-tiba masuk ke rumah dengan kakinya yang kotor, menginjak lantai yang baru dibersihkan. Bagaimana jika lauk di atas meja ruang makan tiba-tiba digondolnya. Bagaimana jika bulu-bulu halusnya lepas beterbangan lalu menyebabkan anakku batuk? Dilihat dari bentuk fisiknya, kucing yang mengikuti Ilalang sepulang sekolah itu kucing liar. Hampir tak terlihat kesan manisnya. Dan yang paling aku khawatirkan, bagaimana jika ia membuang kotoran sembarangan?
Entah mendapatkan ide dari mana, Ilalang membuatkan ranjang untuk kucingnya. Sebuah kotak plastik berwarna putih kusam yang diambilnya dari bawah rak peralatan dapur. Di bagian bawah kotak berukuran 20 x 10 centimeter itu ditaruhnya kaos olahraga lama miliknya. Menjelang tidur, Ilalang biasanya mengangkat kucing itu ke dalam kotak itu sambil berkata agar tidur. Aku biarkan saja, karena sebelumnya saat Ilalang belajar kucing itu sempat aku pukul karena kuanggap mengganggu. Ia berlari ke dapur, lalu beberapa saat hendak kembali ke ruang tengah di mana Ilalang belajar. Aku pukulkan koran yang kugulung ke lantai membuat hewan kecil itu kembali berlari ke dapur.
Semenjak memiliki kucing itu, Ilalang mengurangi waktu bermain dengan sepedanya. Kepada teman-teman sekolahnya yang biasanya bermain ke rumah usai pulang sekolah, Ilalang selalu membanggakan kucingnya. Namun selalu aku larang kalau melihat ia memondong hewan itu.
Suatu malam, ketika hendak mengambil lauk di meja dapur, tersentuh olehku bulu-bulu halus. Kebetulan aku tak menghidupkan lampu dapur, karena lampu ruang tengah dan lampu kamar mandi cukup terang untuk menerangi meja makan. Seketika amarahku muncul, kupegang leher bagian belakang kucing itu, aku angkat lalu kubuka pintu belakang dapur. Selanjutnya aku lempar kucing itu. Tak ingin tahu apa yang terjadi dengannya, segera kututup pintu itu. Aku hanya mendangar suaranya, mengeong di gelap malam.
Pagi harinya, Ilalang tak menemukan kucingnya. Ia bertanya kepadaku, aku jawab semalam kuletakkan di luar karena suaranya mengganggu. Ilalang berlari kecil, dan membawa masuk kucingnya kembali ke dapur.
"Kehujanan dia, yah," Ilalang melapor. Ia mengambil handuk bekas yang selama ini dipakainya untuk mengelap sepeda. Dengan kain itu diusap-usapnya bulu-bulu hewan yang terdiam tak bersuara itu. Aku sendiri tak menyadari kalau semalam memang hujan lebat. Terdengar memang suara titik hujan di atap dapur, namun sama sekali tak terpikirkan olehku akan kucing yang kulempar keluar rumah.
Aku selalu tak suka jika Ilalang bermain-main dengan kucing itu. Biasanya ia menggoda kucing kecil yang belum diberinya nama itu dengan tangan yang digerak-gerakkan. Dan kucing kecil itu menyambutnya dengan berguling-guling di lantai, sesekali kedua kaki depannya mencoba menyentuh tangan anakku. Rasanya ingin marah saja, namun kutahan karena kulihat Ilalang menikmatinya. Aku hanya khawatir jika kucing kecil itu marah kalau merasa diganggu berlebihan dan mencakar.
Dan hal itu akhirnya terjadi, Ilalang menjerit ketika cakar kucing itu melukai kulit kakinya. Kali ini kesabaranku habis, kutendang kucing itu hingga terlempar. Ilalang tak menangis, hanya meringis. Namun ia tak melarang apa yang kulakukan. Mungkin ia takut atau tak sempat meminta aku tidak melakukannya karena aku bergerak cepat.
Sore hari, sehari kemudian, Ilalang sudah melupakan cakaran kucing itu, yang memberinya bekas warna hitam memanjang sekecil garis. Aku peringatkan Ilalang agar lebih hati-hati.
"Dia buang kotoran di kamar mandi lho, yah," cerita Ilalang.
Aku masuk ke kamar mandi dan kulihat kotoran kucing itu di sudut ruangan. Kuguyurkan beberapa gayung air untuk membersihkannya. Untung tidak buang kotoran di ruang tengah, pikirku.
Hingga suatu malam, kira-kira tiga minggu sejak kucing itu tinggal di rumah, Ilalang sibuk menanyakan di mana hewan kesayangannya itu. Aku yang semula tak begitu peduli karena tengah menulis sesuatu di layar komputer, lama-lama terusik juga. Apalagi teman sekantorku yang tengah bertandang ke rumah mengatakan anakku itu berjalan menyusuri jalan depan rumah hingga ujung jalan. Aku bergegas keluar dan melihat Ilalang berjalan pelan-pelan, kepalanya tampak menoleh ke kiri-kanan.
Tak menemukan kucingnya, ia mencoba menyusuri jalan lain yang berlawanan, tetap tak ditemukan kucing itu. Aku suruh anakku masuk rumah, dan aku menyadari air matanya berlinang. Anakku menahan tangis karena kucingnya tak pulang malam itu. Aku tersentuh, dan baru kusadari betapa sayangnya anakku kepada kucing kecil itu.
Aku bujuk Ilalang untuk tidur. Setelah ia terlelap, aku mencoba mencari kucing itu. Sekeliling rumah aku susuri, gang-gang jalan aku cermati. Tak ada juga.
Pagi harinya, Ilalang tetap tak menemukan kucingnya dan kembali menangis. Aku peluk dia erat-erat sambil kukatakan, "Nanti juga pulang sendiri ke rumah ini sayang."
Aku berjanji akan mencarikan seekor anak kucing lainnya sebagai pengganti anak kucing yang hilang. Aku berpikir, mungkin seperti itulah seorang gadis yang kehilangan kekasihnya. Hari-harinya hanyalah lagu-lagu sedih nan menyayat hati.
Seekor kucing sudah memberiku satu lagi makna hidup.
"Biarkan saja, Yah," seru Ilalang, "dia tadi ngikut dari dekat sekolah."
Mendengar jawaban anakku, aku urungkan niat. Padahal sudah terbayang hewan kecil itu akan kulempar ke belakang rumah yang ditumbuhi rumput liar. Di sana, sering aku lihat beberapa ekor kucing dewasa setia menunggu sisa-sisa makanan yang kubuang ke tempat sampah. Biasanya ada dua atau tiga ekor.
Hari-hari berikutnya, kucing itu kubiarkan masuk ke rumah. Ilalanglah yang paling rajin memberinya makan, tulang-tulang ayam bekas lauk makannya, potongan kerupuk yang dibelinya di warung tetangga. Memang tidak dibeli khusus untuk kucing yang hingga hari ke enam masih belum menarik perhatianku, kerupuk itu untuk dimakan Ilalang, baru diberikannya ke kucing beberapa potong ketika hewan yang hanya mampu bersuara meong meong itu mendekatinya.
Sebenarnya hatiku kurang senang melihat kucing di rumah. Bagaimana kalau ia tiba-tiba masuk ke rumah dengan kakinya yang kotor, menginjak lantai yang baru dibersihkan. Bagaimana jika lauk di atas meja ruang makan tiba-tiba digondolnya. Bagaimana jika bulu-bulu halusnya lepas beterbangan lalu menyebabkan anakku batuk? Dilihat dari bentuk fisiknya, kucing yang mengikuti Ilalang sepulang sekolah itu kucing liar. Hampir tak terlihat kesan manisnya. Dan yang paling aku khawatirkan, bagaimana jika ia membuang kotoran sembarangan?
Entah mendapatkan ide dari mana, Ilalang membuatkan ranjang untuk kucingnya. Sebuah kotak plastik berwarna putih kusam yang diambilnya dari bawah rak peralatan dapur. Di bagian bawah kotak berukuran 20 x 10 centimeter itu ditaruhnya kaos olahraga lama miliknya. Menjelang tidur, Ilalang biasanya mengangkat kucing itu ke dalam kotak itu sambil berkata agar tidur. Aku biarkan saja, karena sebelumnya saat Ilalang belajar kucing itu sempat aku pukul karena kuanggap mengganggu. Ia berlari ke dapur, lalu beberapa saat hendak kembali ke ruang tengah di mana Ilalang belajar. Aku pukulkan koran yang kugulung ke lantai membuat hewan kecil itu kembali berlari ke dapur.
Semenjak memiliki kucing itu, Ilalang mengurangi waktu bermain dengan sepedanya. Kepada teman-teman sekolahnya yang biasanya bermain ke rumah usai pulang sekolah, Ilalang selalu membanggakan kucingnya. Namun selalu aku larang kalau melihat ia memondong hewan itu.
Suatu malam, ketika hendak mengambil lauk di meja dapur, tersentuh olehku bulu-bulu halus. Kebetulan aku tak menghidupkan lampu dapur, karena lampu ruang tengah dan lampu kamar mandi cukup terang untuk menerangi meja makan. Seketika amarahku muncul, kupegang leher bagian belakang kucing itu, aku angkat lalu kubuka pintu belakang dapur. Selanjutnya aku lempar kucing itu. Tak ingin tahu apa yang terjadi dengannya, segera kututup pintu itu. Aku hanya mendangar suaranya, mengeong di gelap malam.
Pagi harinya, Ilalang tak menemukan kucingnya. Ia bertanya kepadaku, aku jawab semalam kuletakkan di luar karena suaranya mengganggu. Ilalang berlari kecil, dan membawa masuk kucingnya kembali ke dapur.
"Kehujanan dia, yah," Ilalang melapor. Ia mengambil handuk bekas yang selama ini dipakainya untuk mengelap sepeda. Dengan kain itu diusap-usapnya bulu-bulu hewan yang terdiam tak bersuara itu. Aku sendiri tak menyadari kalau semalam memang hujan lebat. Terdengar memang suara titik hujan di atap dapur, namun sama sekali tak terpikirkan olehku akan kucing yang kulempar keluar rumah.
Aku selalu tak suka jika Ilalang bermain-main dengan kucing itu. Biasanya ia menggoda kucing kecil yang belum diberinya nama itu dengan tangan yang digerak-gerakkan. Dan kucing kecil itu menyambutnya dengan berguling-guling di lantai, sesekali kedua kaki depannya mencoba menyentuh tangan anakku. Rasanya ingin marah saja, namun kutahan karena kulihat Ilalang menikmatinya. Aku hanya khawatir jika kucing kecil itu marah kalau merasa diganggu berlebihan dan mencakar.
Dan hal itu akhirnya terjadi, Ilalang menjerit ketika cakar kucing itu melukai kulit kakinya. Kali ini kesabaranku habis, kutendang kucing itu hingga terlempar. Ilalang tak menangis, hanya meringis. Namun ia tak melarang apa yang kulakukan. Mungkin ia takut atau tak sempat meminta aku tidak melakukannya karena aku bergerak cepat.
Sore hari, sehari kemudian, Ilalang sudah melupakan cakaran kucing itu, yang memberinya bekas warna hitam memanjang sekecil garis. Aku peringatkan Ilalang agar lebih hati-hati.
"Dia buang kotoran di kamar mandi lho, yah," cerita Ilalang.
Aku masuk ke kamar mandi dan kulihat kotoran kucing itu di sudut ruangan. Kuguyurkan beberapa gayung air untuk membersihkannya. Untung tidak buang kotoran di ruang tengah, pikirku.
Hingga suatu malam, kira-kira tiga minggu sejak kucing itu tinggal di rumah, Ilalang sibuk menanyakan di mana hewan kesayangannya itu. Aku yang semula tak begitu peduli karena tengah menulis sesuatu di layar komputer, lama-lama terusik juga. Apalagi teman sekantorku yang tengah bertandang ke rumah mengatakan anakku itu berjalan menyusuri jalan depan rumah hingga ujung jalan. Aku bergegas keluar dan melihat Ilalang berjalan pelan-pelan, kepalanya tampak menoleh ke kiri-kanan.
Tak menemukan kucingnya, ia mencoba menyusuri jalan lain yang berlawanan, tetap tak ditemukan kucing itu. Aku suruh anakku masuk rumah, dan aku menyadari air matanya berlinang. Anakku menahan tangis karena kucingnya tak pulang malam itu. Aku tersentuh, dan baru kusadari betapa sayangnya anakku kepada kucing kecil itu.
Aku bujuk Ilalang untuk tidur. Setelah ia terlelap, aku mencoba mencari kucing itu. Sekeliling rumah aku susuri, gang-gang jalan aku cermati. Tak ada juga.
Pagi harinya, Ilalang tetap tak menemukan kucingnya dan kembali menangis. Aku peluk dia erat-erat sambil kukatakan, "Nanti juga pulang sendiri ke rumah ini sayang."
Aku berjanji akan mencarikan seekor anak kucing lainnya sebagai pengganti anak kucing yang hilang. Aku berpikir, mungkin seperti itulah seorang gadis yang kehilangan kekasihnya. Hari-harinya hanyalah lagu-lagu sedih nan menyayat hati.
Seekor kucing sudah memberiku satu lagi makna hidup.
Post a Comment for "Apalah Arti Seekor Anak Kucing"