Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Terpendam dari Lorong Sepatu (2)

Periuk di Lahan 1 Meter Persegi

Menyaksikan 10 tukang sol sepatu di Lorong Sepatu lumayan menyejukkan hati, apalagi di tengah berita-berita hangat persaingan tak sehat antar pengusaha kaya dengan lebih dari satu perusahaan. Mereka tetap rukun, hal ini dapat ditunjukkan dengan kerelaan antarmereka berbagi rezeki untuk periuk nasinya di rumah. Jika seorang tukang sol sepatu tengah menyelesaikan perbaikan alas kaki dan ada warga yang datang kepadanya membawa alas kaki untuk diperbaiki, tak segan ditunjukkan ke temannya, yang terlihat "nganggur".

Dengan lahan bisnis yang cuma satu meter persegi, apa pun bisa terjadi di tempat ini. Ketidaksenangan terhadap perkataan atau tingkah antar tukang sol sepatu bisa saja menimbulkan masalah. Apalagi tak ada jarak membatasi mereka. Tak ada dinding untuk sekadar menahan kalimat-kalimat yang terucap. Begitu dekat, begitu nyata, mungkin tagline sebuah iklan produk pasta gigi ini cocok untuk menggambarkan kedekatan hati dan fisik di Lorong Sepatu. Tak usahlah berteriak, seorang tukang sol sepatu paling ujung yang bicara akan terdengar juga sampai ke telinga rekannya yang ada di ujung satunya, atau di depannya.

Sudahlah menempati kedua sisi lorong masuk pasar yang kecil, kios mereka pun mungil. Untungnya peralatan mereka tak menghabiskan banyak tempat, kalau sempat harus melengkapi diri dengan lemari atau meja, sudah pasti tak akan cukup lahan satu meter persegi ini. Tata ruang minimalis terpaksa dipakai para tukang sol sepatu agar di tempat yang terbatas semua yang dibutuhkan bisa ditaruh. Dan semua penataan yang ada hampir sama. Sebuah kursi duduk yang juga mungil, dengan kaki kursi hanya sekian centimeter dari lantai atau alas penahan lain. Saking sumpeknya, beberapa tukang sol sepatu kreatif, menggunakan kursi sekaligus kotak penyimpan peralatan atau sepatu yang sudah diperbaiki namun belum juga diambil pemiliknya, atau sepatu yang baru diterima namun belum sempat dikerjakan.

Peralatan cukuplah disimpan di kotak kayu atau wadah lainnya. Tak butuh banyak tempat, karena hanya ada pisau berbagai ukuran, tali untuk menjahit, obeng pengait tali jahitan, lem dan semir. Di sisi kanan atau kiri terdapat kotak kayu lain yang juga berfungsi sama sebagai penyimpan sepatu, sandal dengan berbagai merek dan ukuran serta bahan. Toh di lahan yang nyempil ini masih ada tukang sol sepatu yang bisa menyisipkan rak rokok sebagai panambah penghasilan. Tidak seperti rak rokok milik pedagang kakilima yang seolah-olah berlomba agar lebih besar dan bisa memajang banyak rokok. Di sini cukuplah rak tipis, karena hanya bisa dijadikan pemajang satu bungkus rokok, tidak disusun beberapa bungkus ke depan meski satu merek.

Tentu bukan tanpa alasan mendesain rak rokok ini, karena kalau besar-besar, bisa-bisa kalau kepala tukang sol sepatu banyak bergerak akan kejedut sisi rak. Satu-satunya penanda wilayah kekuasaan satu tukang sol dengan lainnya hanya papan. Itu juga tidak menghalangi pandangan antarmereka. Melihat ramainya warga yang datang, bisa saja tukang sol sepatu memperluas lahannya. Namun apa daya, hanya satu meter yang tersisa. Para pelanggan juga cukup tahu diri, biasanya menaruh alas kakinya untuk dipebaiki, lalu ditinggal. Ada yang ke kantornya dulu untuk bekerja, ada yang masuk ke pasar membeli kebutuhan lain. Kalau tidak, wuih... bisa berjubel jadinya. Belum lagi kalau harus berbagi jalan masuk dengan warga yang keluar masuk pasar lewat lorong ini. Bisa jadi lama-lama namanya menjadi lorong senggol. Untung kalau kesenggol benda yang enak, kalau disenggol belanjaan yang isinya ikan basah? Mau?(bersambung)

Post a Comment for "Kisah Terpendam dari Lorong Sepatu (2)"