Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menganggap dan Mengaku Saudara

Suasana kapal roro saat sepi. F-nurali
Ketika Anda adalah perantauan, dan hidup jauh dari orangtua, anggota keluarga lain yang penuh sayang, kehadiran orang lain yang menganggap Anda sebagai seorang saudara adalah sebuah berkah. Anda pasti bahagia, apalagi jika orang tersebut benar-benar baik dan menganggap keluarga layaknya keluarga sendiri.

Anda bisa berbagi, menceritakan beban yang ada dalam benak Anda. Lalu orang yang menganggap Anda saudara itu memberikan pencerahan, nasihat dan jalan keluar, alangkah indahnya. Begitu pentingnya arti persaudaraan itu, sehingga banyak komunitas entah itu beladiri, olahraga, musik, atau yang lain menggunakan kata persaudaraan.

Bukan hanya cerita kosong, ada orang sukses setelah berkenalan dengan orang lain yang menganggapnya saudara. Orang yang sudah menganggap orang lain saudara setulus hati tentu tak pelit berbagi ilmu. Ilmu dagang, ilmu lainnya. Ia tak takut tersaingi. Jika memang orang yang dianggap saudaranya bisa membuka usaha setelah diajari caranya, saudara itu akan bersyukur bisa membantu orang lain.

Akan banyak tulisan dalam artikel ini jika saya harus memberikan contoh arti persaudaraan yang baik. Apalagi Anda membaca blog saya ini hanya memiliki waktu sedikit. Saya jadi dosa kalau membiarkan Anda bercerita panjang lebar. Intinya saja, seperti saat kita mengerjakan soal ujian. Singkat, padat, jelas.

Ini sebuah cerita nyata tentang tak selamanya mengaku saudara itu baik. Baru kemarin saya menyeberang dari Pulau Bintan ke Pulau Batam.Seperti biasanya, moda transportasi yang saya sukai adalah kapal roro. Baru saja menyandarkan tubuh ke kursi kapal, jam berangkat sudah tiba. Jam 09.30 WIB. Belum lama membuka ponsel untuk mengecek adakah pesan dari orang lain yang harus kubalas, seorang petugas kapal tiba-tiba naik ke atas, mendekati seorang perempuan berjilbab yang duduk santai di samping kantin kapal.


Nadanya agak tinggi. Bukan memarahi tetapi sekadar memberi tahu. Saya mendengar dengan jelas apa yang diucapkan lelaki berseregam dengan handy talkie di genggaman tangan kirinya. Urusan saudara.

Ketika lelaki itu turun, seorang pegawai lain kebetulan berdiri di dekat saya duduk. Ia tengah menikmati gorengan yang dijual di kantin kapal. Saya tanya.

"Ada apa, Mas?"

"Ada penumpang mengaku saudaranya Bunda, Mas."

Pegawai ini, juga yang lain memanggil perempuan berjilbab tadi Bunda. Mungkin, kapal yang saya naiki itu roro tetapi bukan milik Departemen atau Dinas Perhubungan. Sebab saya pernah bercakap dengan kru kapal, ada kapal roro milik swasta untuk melengkapi jumlah roro milik pemerintah. Bisa jadi Bunda adalah istri pemilik kapal atau orang kepercayaannya.

Mau duduk di sini? Bayarlah tiket. F-nurali.
Bukankah diakui saudara baik? Belum tentu.

"Supaya tidak bayar, Mas?" kukejar pertanyaan.

"Iya, Mas."

"Sering?"

"Beberapa kalilah."

Lalu Bunda meminta ciri-ciri penumpang yang dilaporkan tidak membayar dengan mencatut kata saudara Bunda. Informasi dari pegawai yang biasa menyobek tiket pun diberikan.

"K***ret juga itu orang," gerutu Bunda sebagai bentuk kekesalannya.

Akhirnya disepakati penumpang yang mengaku saudara Bunda itu akan dicek saat penumpang turun. Rupanya bukan sekali dua kali, sebelumnya, dari apa yang diucapkan Bunda di dalam ruangan penumpang, ada beberapa oknum manusia yang juga melakukan hal serupa.

Memang selalu ada dua hal di dunia ini. Gula itu manis, empedu itu pahit. Mengaku saudara bisa baik, mengaku saudara bisa juga tak baik. Tergantung dari sisi mana dipergunakan.

Selamat malam sahabatku semua...

Post a Comment for "Menganggap dan Mengaku Saudara"