Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gonggong Besar Tak Senikmat Gonggong Normal

Foto: tanjungpinangpos
Dua bulan belakangan ini, ada bangunan besar berbentuk hewan laut yang disebut gonggong berdiri megah di kawasan Tepi Laut, Tanjungpinang. Sejak awal pembangunannya, warga sudah dibayangi seperti apa spektakulernya gedung ikonik tersebut. Apalagi bertahun tahun kawasan ini ditutup dengan ratusan lembar seng, membuat warga menerka nerka seperti apa nanti bentuknya. Pembangunan kawasan telah "menggusur" puluhan pedagang kakilima yang setiap malam membentangkan ratusan kursi bagi penikmat malam ditemani angin laut lepas.

Peresmian Gedung Gonggong juga tak kalah semarak. Ada lomba Dragon Boat Race di Sungai Carang, pesertanya sebagian pedayung luar negeri. Juga rangkaian acara lain yang gemerlap. Pejabat pemerintahan RI pun hadir. Pesta peresmian yang diharapkan mampu mencetak segumpal kenangan bagi siapa saja yang datang ke Tanjungpinang, dan membenamkan pesona Gedung Gonggong ke dalam impian. Suatau saat akan datang lagi, karena rindu.

Sebagai warga Tanjungpinang, baru kemarin saya menginjakkan kaki ke lantai ruangan dalam Gedung Gonggong. Siang, sekitar pukul 13.30, matahari tak begitu menyengat lantaran Kota Gurindam tengah berbalut mendung tipis.
Akhir akhir ini, hujan memang tak bisa ditebak. Memasuki lantai satu, yang bisa diakses langsung dari pelataran Gedung Gonggong, berdiri tiang pajang lukisan kanvas. Hampir semua tema lukisannya tentang wisata. Ada penari Melayu, sampan nelayan, keindahan bahari, sampai foto wajah Wali Kota Tanjungpinang yang ditempatkan di samping meja di bagian tengah belakang ruangan pertama. Ada juga informasi lainnya dalam bentuk standing banner.

Sepuluh menit di ruang pertama lantai bawah, rasanya sudah habis apa yang aku lihat. Lantas kaki memasuki ruang belakang yang juga berada satu lantai. Di sini pengunjung disuguhi visual Kota Tanjungpinang lengkap dengan destinasi destinasi wisatanya. Layar lebar yang digunakan untuk mempertontonkan gambar bergerak berwarna seakan memanjakan mata pengunjung yang bebas duduk di deretan kursi empuk. Mirip gedung bioskop mini. Dinginnya AC membuat sejumlah pengunjung sengaja berlama lama di dalam, tanpa ketinggalan melakukan salah satu trend manusia saat ini: selfie. Sementara yang duduk manis menyaksikan pesona Tanjungpinang lewat layar hanya beberapa saja. Agaknya sejuknya ruangan ber-AC menjadi salah satu alasan warga agak berlama lama. Tak ada yang serius sekali menikmati apa yang dipamerkan di Gedung Gonggong.

Kembali ke ruangan depan, sebenarnya beberapa lukisan mampu mengobati kerinduan akan warna. Sayang, lukisan lukisan kanvas tadi masih bugil, alias tanpa pigura. Kaki kaki kayu pajangan lukisan serasa mengganggu di ruangan yang tak terlalu luas jika suatu saat ada rombongan pengunjung yang masuk. Ada lantai dua sepertinya, karena ada tangga di sebelah kiri. Beberapa orang juga terlihat lalu lalang di atas. Namun kaki saya entah mengapa justru mengajak keluar. Lalu saya di pelataran Gedung Gonggong, meliarkan tatapan ke laut lepas. Ada perasaan tenang dan nyaman.

Aku jadi teringat status mantan pimpinan perusahaan di mana saya pernah 13 tahun bekerja, menuliskan: Gedung Gonggong kok tak seperti gonggong yang saya makan. Lalu dari sekian reply, ada satu menuliskan begini: gonggongnya sudah berevolusi atau transformasi (aku kurang ingat yang mana). Dan saat pulang, saya masih bisa membayangkan nikmatnya daging gonggong yang terakhir kali aku santap di Potong Lembu, hampir empat bulan lewat. Kenyalnya, gurihnya, rasa pedas sambalnya, asyiknya mencongkel dagingnya agar keluar dari cangkang dan harganya. Ah, andaikata Gonggong raksasa di Tepi Laut juga mencerminkan mewahnya gonggong kecil di piring, tentu akan lebih nikmat menikmatinya. Dan Gedung Gonggong akan selalu dirindukan, layaknya gonggong di Potong Lembu itu.

Post a Comment for "Gonggong Besar Tak Senikmat Gonggong Normal"