Kapan Indah
Negara ini kuyakin pasti tidak didesain untuk selalu menangis. Jika ada bencana, banjir, tsunami, longsor, banjir, gunung meletus dan sebagainya, pasti ada hikmahnya. Mungkin perilaku kita yang lupa bahwa alam ini harus diwariskan ke anak cucu. Bukan sok selalu seperti sepasang remaja jatuh cinta, dunia milik berdua yang lain kontrak. Tak perlu dipikirkan.
Tetapi yang terjadi bukan seperti itu. Selalu ada buntut di belakangnya. Seolah olah lebih tahu dan mengerti dibanding Tuhan. Tuh lihat longsor di mana mana, kita salah pilih pemimpin nih kayaknya. Apa aku bilang musibah ini karena ulah si A atau B. Selalu menuding. Tidak pernah menuding diri sendiri adakah yang tak benar?
Mudahnya antar manusia terhubung lewat teknologi justru membuat negeri ini begitu mudah dibuai oleh kebaikan berbalut niat murka. Selalu ada orang orang yang entah mengapa doyan dan lahap mengupdate status yang memicu pertikaian. Mungkin tak adu jotos secara fisik. Tetapi adu mulut di media sosial dengan kata kata kasar seharusnya sama kejamnya dengan tindakan fisik di alam nyata.
Kita selalu disarapani berbagai berita. Diakui. Ada yang sumbernya valid dan pembacanya orang pintar. Eh.... tak sedikit yang copy paste ganti dikit dikit... diposting... nangkring sebagai trending topics. Kok nggak malu ya. Pesta seolah tak boleh berakhir. Yang paling anyar ya Pilpres contohnya. Lalu ada DPR tandingan, gubernur tandingan dan bla bla bla. Dari tema itu saja bisa lhir jutaan berita. Ada yang langsung diterima. Ada yang harus jadi polemik berkepanjangan. Mencoba menarik dukungan pembaca. Terbelah...
Jadi teringat pilihan kepala desa di kampungku. Tradisi yang ada sejak aku kecil. Pestanya ya saat sejumlah kandidat duduk sejajar di balai desa. Lalu warga dengan antusias memilih jagoannya. Boleh coblos gambar ketela, jagung, kacang atau gambar lain. Tetapi warga tahu pasti track record si ketela begini, jagung begitu, kacang begono dan sebagainya. Perang dukungan sudah ada sejak aku kecil. Tapi ya itu.... begitu pesta berakhir dan pemenangnya didapat kehidupan kembali hangat.
Sekarang? Ada saja yang setia menjaga api dalam sekam. Di setiap sisi kehidupan. Tergantung berapa lama akhirnya terbakar. Panas. Bagaimana lagi... kita diajarkan bukan untuk waspada melainkan curiga terhadap orang lain. Hingga yang selalu muncul di dasar hati yang beginian: eh dia datang, mau apa? Busyet tuh orang beli mobil, awas ya. Setan... jadi juga dia sebagai anggota dewan, tak rela aku. Wuih... sok kaya dan sebagainya dan lain lain.
Ketika ada orang miskin kerja keras digunjing. Ketika si miskin jadi tajir bukannta dijadikan panutan. Malah difitnah dan dirumorkan yang nggak nggak. Di mana Indonesiaku yang dulu?
Ketika ada tukang sapu diangkat menjadi kepala bagian di sebuah kantor. Selalu ada yang menuding karena menjilat. Jiaaaah..... Indonesiaku sekarang tak berpikir positif.
Kapan kembali indah? Ah embuh aku gur takon, karo sopo aku yo gak ngerti.... mending nggawe stiker wae ah....
Post a Comment for "Kapan Indah"