Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Galilah Satu Sumur Itu, Nak (1)

Tempatku Kaki 5 kuubah jadi Pasar Stiker
Tiga belas tahun kulalui dengan berburu berita di lapangan untuk sebuah koran Jawa Pos Grup di Batam. Aku ingat saat SMA guru Bahasa Indonesiaku pernah berseloroh: cocoknya kamu nanti jadi wartawan nak. Mungkin karena nilaiku di mata pelajaran ini lebih bagus dibandingkan yang lain he he.

Dan saat hal itu terbukti aku suka cita. Calon reporter, reporter, redaktur, koordinator liputan, redaktur pelaksana dan kepala perwakilan pernah aku jabat. Gaji yang cukup untuk kebutuhan sehari hari. Enaknya di media aku bisa bertemu dan berteman dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tak enaknya pasti ada di setiap pekerjaan.

Rapat redaksi menjadi wadah menyenangkan untuk membahas calon berita kuat. Membimbing para reporter menjadi hal menyenangkan. Menularkan ilmu jurnalistik kepada mahasiswa magang juga tak kalah seru. Sebagai bukti dan syarat sebagai wartawan berkompetensi, alhamdulillah aku lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW) tingkat utama.

Lalu lima tahun lalu sebenarnya inti tulisan ini aku mulai. Ketika ingin memiliki penghasilan lain. Memang kadang dapat amplop plus isinya usai membuat berita. Tetapi bagiku itu rezeki siluman. Ada ya diterima tak ada ya gak papa. Biar punya saving iseng iseng menghubungi teman teman pengusaha. Share soal peluang yang mungkin bisa kujalani di luar jam kerjaku. Dan stiker menjadi pilihanku karena mudah dibawa dan tak perlu banyak modal. 


Terima kasih kepada Mas Fahmi Alva Variasi Batam yang dengan kebaikan hati meminjamkan barangnya. Namun waktu kerja membuat satu kardus stiker cutting itu teronggok hampir sebulan di rumah. Mengajak teman jualan dengan sistem gaji tak mau. Bagi hasil pun tak mau. Waduuuh.... pilihan bisnis yang salah agaknya.

But the show must go on, suatu malam sehabis kerja ditemani sahabat yang ogah ogahan kubawa satu kardus stiker cutting itu. Plastik tempat pajangan sudah ada tinggal membentang di tepi jalan. Setelah menyurvei seadanya akhirnya kutemukan lokasi di tepi jalan dekat swalayan. Hanya butuh empat tiang kayu, tali plastik akhirnya aku punya lapak. 
Malam pertama jualan stiker cutting mengubah pandanganku. Dari barang kecil kecil itu hasilnya lumayan. Sebulan kemudian aku belanja lagi. Dengan hasil yang menggembirakan dua sahabatku pun semangat menemani malam di bawah tiang pajangan stiker.

Aku tak malu karena aku tak menjalankan usaha haram. Yang menatap merendahkan tentu banyak. Namun yang mendukungku, diantaranya beberapa narasumber dari berbagai kalangan juga tak sedikit. Lelah dan capek itu pasti. Dari jam 19.00 sampai 24.00 kuisi dengan berjualan stiker.
Keesokan paginya kerja lebih nyaman. Untuk rokok dan bensin tak perlu lagi mengurangi anggaran belanja di rumah. Dari hasil berjualan stiker akhirnya aku bisa menyewa satu kios kecil di samping Gedung RRI Tanjungpinang. Oh ya, lokasi jualan malamku ada di samping Pinang Lestari Bintan Center, Batu Sembilan. Aku gaji istri salah satu sahabatku yang setia membantuku jualan. Satu tahun di kakilima akhirnya aku bisa memajang stikerku di etalase kaca yang kubeli bekas orang berjualan. 

Dua tahun kemudian salah satu sahabatku memberitahu ada temannya mau dititipi stiker. Kiosnya di salah satu ruko di Jalan Bintan No 12 Tanjungpinang. Syaratnya hanya boleh sewa tempat untuk dua etalase. Terima kasih kepada Feby Febiola yang dengan baik hati memberikan tempat bagiku. Kios di depan RRI kulepas. Aku pindah ke jantung kota.

Alhamdulillah hasilnya lebih bagus. Di sela waktu kerja aku masih menyempatkan diri ngecek penjualan kepada pegawai kepercayaanku. Sementara jualan di kakilima masih jalan, aku membuka satu kios di belakang Kedai Kopi Sukaramai Bintan Center.

Perjuangan itu sangat berat kawan. Harus membagi waktu untuk dua pekerjaan. Aku pin jadi terbiasa tidur empat jam sehari. Ketika usahaku mulai tumbuh kakak lelakiku baru saja gagal sebagai caleg. Dia yang paling dekat dengan aku. Dia yang memberiku tumpangan tempat tinggal ketika aku merantau dari Jawa ke Batam selama beberapa tahun. Tetapi aku yakin Allah maha pemberi. Dari ketidakyakinan stiker bisa membantu memulihkan ekonomi keluarganya kakakku kuminta datang dan gabung jualan malam. Pernah sama sama kerja satu kantor di koran dia tahu benar mana yang berpeluang untuk dijalani.

Keputusan yang berani. Meski masih menanggung utang kakakku justru pinjam uang lagi untuk membeli mesin cutting stiker. Sepulang kerja aku sementara waktu tidak ke kakilima untuk belajar mesin cutting. Terima kasih untuk guruku Mbah Google yang selalu sabar memberiku tutorial. Untuk belajar aku harus pasang kabel speedy. Sebagai orang Jawa aku selalu yakin dengan pepatah Jer Basuki Mowo Bea yang artinya kesuksesan diraih dengan biaya atau pengorbanan. ......bersambung ke bagian dua

Post a Comment for "Galilah Satu Sumur Itu, Nak (1)"