Gelora Api Revolusi di Tanjungpinang Tahun 1945 – 1950

Nyaris belum pernah terungkap dalam sejarah Tanjungpinang, Kepri atau nasional sekalipun tentang kenyataan tadi. Bersama puluhan nama lainnya, namanya tercatat di arsip laporan polisi Belanda yang disimpan di National Aschief Denhag Belanda sebagai tokoh pemberontak di Tanjungpinang antara tahun 1946 – 1950 (dilihat dari kaca mata Hindia Belanda).
Nama-nama tersebut terungkap saat sejarahwan Kepri, Aswandi Syahri menemukan arsip tersebut saat melaksanakan penelitian dan pengumpulan bahan sumber sejarah di Den Hag Belanda akhir November 2010 lalu. Diskusi arsip tersebut pascakepulangannya dari Belanda terkait arsip berharga itu kami simpan dan baru kami tampilkan sempena peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-66.
Masa antara tahun 1945 – 1950 menjadi periode panas dalam sejarah Tanjungpinang dan Kepri serta di Indonesia umumnya. Karena pada masa tersebut Belanda berusaha menanamkan kembali kekuasaannya. Beragam cara dilakukan oleh Belanda untuk bisa berkuasa kembali. Mulai dengan membentuk parlemen-parlemen gabungan dengan orang lokal hingga menindas dengan cara apapun terhadap siapa saja yang tak mau diajak bekerjasama. Mereka yang tak mau bekerjasama itu disebut pemberontak.
Ada sejumlah catatan tentang berbagai pemberontakan itu dari berbagai versi di Tanjungpinang dan Riouw. Namun hanya sedikit catatan yang dibuat langsung oleh sang penguasanya yaitu Belanda. Sedikit catatan itulah yang berhasil ditemukan Aswandi di Belanda dan tokoh yang sangat dibenci Belanda pada periode itu, adalah Raden Sunaryo, yang akhirnya tewas dalam tahanan Hindia Belanda di Benteng Bukit (eks Hotel Top View yang kini menjadi bagian dari RSAL Tanjungpinang). Dia menjadi orang pertama dan satu-satunya di Riau (Riau saat itu meliputi Riau Daratan dan Riau Kepulauan) yang gugur karena mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Raden Sunaryo yang namanya kini diabadikan sebagai nama jalan di Tanjungpinang dicatat sebagai tokoh Badan Kedaulatan Indonesia Riau (BKIR). Di masa pendudukan Jepang dia termasuk seorang tentara yang direkrut dan dilatih Jepang (Heiho) dan berpangkat letnan. Setelah kemerdekaan Indonesia dia menjadi anggota polisi Keresidenan Belanda di Tanjungpinang. Rencana pemberontakannya yang ketahuan oleh mata-mata Belanda, disebut Belanda sebagai Witte Rood Beweging (gerakan merah putih) di awal 1946.
BKIR ini menjadi organisasi pertama di yang menentang berkuasanya kembali Belanda di Riau. Belanda mencatatnya sebagai organisasi subversif yang bergerak di bawah tanah. Selain BKIR organisasi lainnya yang dianggap subversif oleh Belanda, adalah Angkatan Muda Indonesia Riau (AMIR), Gerakan Rakyat Indonesia Riau (GRIR) dan Keinsyafan Rakyat Indonesia Riau (KRIR).
‘’Dari berbagai catatan yang sebagiannya merupakan catatan top secret (karena jika diungkap saat ini ada pihak yang mungkin tidak nyaman, red) terungkap, bahwa masyarakat Kepri, terutama di Tanjungpinang punya andil besar. Dalam mendukung kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945,’’ kata Aswandi Syahri dalam perbincangan dengan Tanjungpinang Pos di ‘’kantornya’’ di suatu siang.
Disebut kantor, karena ruangan tanpa pendingin itu sejatinya adalah paviliun rumahnya di Jalan Nila Nomor 2 Batu Hitam itu penuh sesak dengan arsip, buku dan berbagai catatan sejarah yang bersumber dari dalam negeri atau dari luar negeri. Umumnya seluruh catatan dan bukti tertulis tentang segala sesuatu yang terkait dengan Riau serta Kepri itu didapatnya dengan upaya atau biaya sendiri. Hanya kecintaan yang sangat kuat pada sejarah yang membuatnya melakukan itu semua.
Karena suasan siang itu sedang panas-panasnya, saya minta kami berdua duduk di lantai semen tanpa keramik. ‘’Lebih sejuk seperti ini,’’ kata saya sambil mulai mengeluarkan senjata andalan, buku kecil, pena dan kamera poket yang mudah dibawa. Sambil tersenyum Aswandi mengiyakan permintaan saya dan kamipun mulai menyibak periode gelap dalam sejarah Riau di Tanjungpinang dari tahun 1946 – 1950 itu.
Aswandi tak lupa mengingatkan supaya saya mengambil gambar beberapa dokumen arsip yang boleh dipublikasikan, sebagai back up informasi jika ada bagian yang mungkin lupa saya tanyakan. Sedangkan yang masuk kategori top secret saya hanya melihat dan membacanya saja. Karena nyaris sebagian besar ditulis dalam Bahasa Belanda, mau tak mau Aswandi menerjemahkannya untuk saya.
Arsip tersebut sangat menarik, karena dari dalamnya terungkap bahwa para pejuang kemerdekaan Indonesia di Tanjungpinang itu terdiri dari berbagai macam suku dan daerah di Indonesia, yang berada di kota ini. Dari membolak balik arsip itulah terlihat sebuah nama Tionghoa di dalamnya, selain nama Jawa, Minangkabau, Gorontalo, Belitung dan orang Riau sendiri.
Nama orang Tionghoa yang termasuk pejuang kemerdekaan RI yang di mata Belanda disebut pemberontak itu, adalah Jap Ma Tjan. Dalam arsip itu ditulis juga dalam Bahasa Belanda, bahwa Jap Ma Tjan berprofesi sebagai juru tulis di Kantor Juru Bayar Botaamisteer di Tanjungpinang. Sebuah jabatan penting di masa tersebut.
‘’Yang menarik, kebanyakan atau malah hampir semua pejuang kemerdekaan itu adalah orang-orang terpelajar dan mapan secara ekonomi. Mereka juga menjadi pegawai sipil atau militer di Keresidenan Riouw. Jadi bukannya orang tertindas dan mereka memiliki pemikiran yang maju. Bahwa Indonesia sudah merdeka dan Belanda datang untuk menjajah kembali. Pascaterungkapnya dokumen-dokumen gerakan bawah tanah itu, nyaris semuanya dipecat Belanda. Namun, mereka terus bergerak di bawah tanah,’’ ujar Aswandi.
Bahkan, imbuh Aswandi, berbagai organisasi tersebut tak hanya bergerak di bawah tanah saja. Tapi secara terang-terangan menyampaikan permintaan ‘’gila’’ kepada Residen Riouw di Tanjungpinang sekitar tahun 1946, agar dilakukan pengibaran bendera merah putih setiap tanggal 17 Agustus. Sebuah permintaan yang jelas ditolak mentah-mentah oleh Belanda.
Ditolaknya permintaan itu sama sekali tidak menyurutkan tekad para pejuang untuk terus menyampaikan propaganda kemerdekaan Indonesia, yang harus dipertahankan dan diperjuangkan untuk ditegakkan di Riau. Propaganda sangat mencemaskan Belanda, karena isinya juga memberikan pemahaman kepada semua kalangan tentang arti sebuah kemerdekaan.
Belanda semakin cemas karena tokoh-tokoh pergerakan tersebut secara rutin melaksanakan rapat gelap di berbagai tempat sekitar awal 1946. Salah satu rapat yang terendus kakibusuk (mata-mata, red) Belanda adalah rapat di sebuah hotel di Batu 2. Dalam arsip itu disebutkan nama hotel itu, yaitu Hotel Daja. Rapat itu langsung digerebeg Belanda dan dari penggerebegan tersebut berhasil diperoleh arsip-arsip penting yang kemudian disita.
‘’Dari arsip dan dokumen itulah terungkapnya rencana tertulis pemberontakan Raden Sunaryo. Dia kemudian ditangkap dan akhirnya mati di Penjara Benteng KNIL. Tewasnya Sunaryo bukannya membuat tokoh lainnya takut dan suasana semakin panas,’’ beber Aswandi.
Tidak terima dengan kematian Raden Sunaryo itu, tokoh-tokoh organisasi terlarang di mata Belanda itu kembali mengadakan pertemuan di Hotel Daja sekitar awal Juni 1946. Tujuan pertemuan tersebut untuk merancang pemberontakan melawan Belanda, sebagai balasan atas kematian Raden Sunaryo. Namun, lagi-lagi Belanda yang baru bercokol kembali di Tanjungpinang berhasil mencium rencana tersebut.
Selanjutnya Belanda melaksanakan penggeledahan dan pemeriksaan besar-besaran di seluruh Tanjungpinang sekitarnya. Hasilnya sekitar 17 orang tokoh pimpinan Angkatan Muda Indonesia Riau (AMIR) dan sekitar 12 orang anggotanya ditangkap polisi Belanda. Setelah dilakukan pemeriksaan sekitar lima orang diantaranya langsung dijebloskan ke sel Penjara Benteng.
Siapa saja nama belasan orang tokoh perjuangan yang ditangkap tersebut ? Cermati dan perhatikan dengan baik, siapa tahu diantara orang-orang terhormat itu adalah kakek, bapak atau sanak famili Anda. Kami pastikan nama-nama ini sama sekali belum pernah dipublikasikan di manapun dan kapanpun.***
Gerakan Merah Putih dan Organisasi Pendukung Proklamasi ernyata, seperti halnya pada beberapa daerah di Indonesia, berita Proklamasi 17 Agustus 1945, turut memicu reaksi lokal di Tanjungpinang yang pada akhirnya menciptakan serangkaian upaya untuk merubah sebuah tatanan yang sebelumnya telah “mapan” di tangan Belanda dan Jepang.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas, reaksi-reaksi lokal ini pada akhirnya berkembang menjadi bagian yang integral dari revolusi Indonesia. Dengan kata lain, masyarakat di Tanjungpinang juga turut punya andil dalam kancah Revolusi Indonesia yang heroik itu. Bagaimana peran masyarakat Tanjungpinang di “pentas revolusi Indonesia” yang bertujuan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 itu? Tulisan ini coba memberikan sidikit gambaran berdasarkan bahan-bahan arsip Belanda yang saya temukan di National Archief (Arsip Nasional) Belanda di Den Haag dalam sebuah penelitian pada akhir November 2010.
***
Cukup banyak banyak alasan dan bukti yang dapat menunjukkan peran serta masyarakat di Tanjungpinang khususnya dan Kepulauan Riau umumnya untuk turut berperan serta dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan ketika Belanda menaikkan kembali benderanya di Karimun dan Tanjungpinang secara berturut-turut pada tanggal 16 September dan 8 Oktober 1945. Yang pasti, sebagaimana dicatat dalam arsip Algemeene Secretarie: “…[sebagian] masyarakat Riouw [baca Kepulauan Riau, red] secara politis cukup berpendidikan dan mempunyai pemikiran politik untuk membedakan slogan-slogan palsu [yang kembali diusung Belanda]”.
Dari bahan arsip-arsip rahasia laporan Algemeenne Politie [Polisi Umum], Jaksa dan Kantoor Residen Riau di Tanjungpinang antara tahun 1946-1948, dapat diketahui bahwa reaksi pertama terhadap proklamasi di Tanjungpinang muncul dari sekelompok pribumi mapan secera social dan ekonomis. Mereka adalah pegawai pemerintah Belanda, anggota polisi, dan tentara, yang tergabung dalam organisasi bawah tanah, Gerakan Merah Putih, atau Rood Witte Beweging, Organiasi yang tidak diakui pemerintah ini muncul sekitar bulan April 1946.
Walau masih dalam bentuk “organisasi yang samara-samar, secara indikatif, Gerakan Merah Putih ini dapatlah dilihat sebagai sebuah embrio bagi muncul “elit revolusi” yang dalam perkembangannya kelak melahirkan berbagai tokoh pemegang posisi kunci dari berbagai latar belakang etnis dan profesi dalam gerak perubahan yang berjalan cepat selama pasang surut mempertahankankan proklamsi kemerdekaan di Tanjungpinang.
Tokoh penting Gerakan Merah Putih adalah Dr. Iljas Dt. Batuah, orang Bukttingi yang bekerja di Rumah Sakit Tanjungpinang dan Soenarjo (Raden Sunaryo) orang Kebon Sari, Pasuruan, mantan anggota anggota Veldpolitie di Tanjungpinang, Tarempa dan mantan anggota Gyutai pada zaman Jepang di Dabo Singkep. Setelah perang dunia ke-II, Soenarjo bergabung sebagai asisten guru pada sekolah polisi di Tanjungpinang.
Gerakan Merah Putih yang mempunyai hubungan dengan basis baru Republik Indonesia di Singapura ini didukung pula oleh sejumlah nama dari kalangan ambtenar atau pegwai, polisi, serdadu KNIL, dan particulair. Antara lain tercatat nama-nama sebegai berikut: Abu Zahir, mantan anggota KNIL; Hoetabarat; Panangian Tobing; Soetan Djakaria; dua orang keturunan India bernama Oesman dan Abdoel Wahid; Abdoel Hazak @ Zagil yang bersal dari Penyengat; Moekimin, seorang polisi Belanda sejawat Soenarjo di Tanjungpinang; Pandapotan Hutapea; Noerdin, Ahmat bin Ali, Aminoedin; Jacob Hasibuan yang bekerja pada kantor P.T.T. di Tanjungpinang; dan Chaidir, yang juga mantan anggota polisi Belanda di Tanjungpinang.
Aktifitas Gerakan Merah Putih semakin berkembang lebih jauh dengan ditubuhkannya B.K.I.R. ( Badan Kedaulatan Indonesia Riau) oleh Dr. Iljas Dt. Batuah dan Soebarma, yang kemudian digantikan oleh Tangiran dan Sjahboedin setelah Dr. Iljas menyingkir ke Taluk Kuantan dan Soebarma ke Bandung pada bulan Oktober 1947. Sebagai organisasi yang mendukung perundingan Linggarjati dan bergerak di “bawah tanah”, B.K.I.R. dikenal juga dengan nama “Balatentara Kedaulatan Indonesi Riouw”. Propaganda pro-republik yang gencar oleh organisasi ini didukung pula oleh sebuah perkumpulan yang bernama Serikat Berniaga Indonesia.
Propaganda pro-Republik yang gencar dilakukan oleh oleh orang-orang Gerakan Merah Putih yang kini tergabung dalam B.K.I.R pada akhirnya “melahir” sejumlah organisasi baru yang juga berorientasi Republik di Tanjungpinang. Hasilnya, pada 15 Mei 1946, ditubuhkan pula A.M.I.R. (Angkatan Moeda Indonesia Riouw). Sebuah organisasi kepemudaan onderdeel (bagian dari) B.K.I.R.
Sebagai ketua dan sekaligus pendirinya adalah Mohamad Amin Ali, anak Kampung Jawa, juru gambar pada Vekeer en Waterstaat kantoor (kantor Lalulintas dan Pekerjaan Umum) di Tanjungpinang. Wakil ketuanya dijabat oleh Dachlan Deo, anak muda Gorontalo yang tinggal di Kampung Jawa dan bekerja pada kantor Juru Bayar @ Betaaalkantoor Tanjungpinang. Sebagai sekretaris dipercayakan kepada Chairoel Ali Rasahan, pemuda Kampung Jawa, pegawai Distributie Kantoor. Sedangkan Penningmeester @ bendaharnya adalah saudara kandung Mohamad Amin Ali, bernama Hasjim Ali yang bekerja di kantor Kehutanan @ Boswezen di Tanjungpinang.
A.M.I.R. dibentuk sebagai mata-mata bagi kepentingan Republik Indonesia dan mempunyai tujuan untuk menggulingkan pemerintah Belanda di Kepulauan Riau. Selain itu, anggota A.M.I.R. mempunyai tugas khusus untuk mengumpulkan informasi tentang persenjataan dan kekuatan militer serta polisi Belanda di Tanjungpinang dan Tanjung Uban. Informasi inilah yang kemudian dikirimkan kepada Ismeth Mochatar yang bekerja pada Mr. Oetoeya Ramelan, perwakilan resmi Republik Indonesia di Singapura, melalui Sufa’at bin Sangari, seorang pedagang dan pemilik toko “Kita” di Tanjungpinang yang tinggal di Kerkhofweg (sekarang Jl. Kemboja) di Tanjungpinang.
Sebuah organissi lain yang mempunyai tujuan sama seperti A.M.I.R, bernama Gerakan Ra’jat Indonesia Riau @ G.R.I.R., muncul pula pada 1 Apri 1948. Ketuanya adalah Dahlan deo yang juga wakil ketua A.M.I.R. Dia dibantu oleh pemuda Kampung Jawa kelahiran Madiun bernama Samingan @ Samingoen sebagai sekretaris 1, dan Abdoel Wahab Hassan, pemuda Kampung Jawa asal Tambelan sebagai sekretaris 2. Di awal berdirinya, G.R.I.R. mempenyai 3 orang anggota; Bachtiar Taib dan Oesman Thaib yang tinggal di Kampung Bukit, serta Sardjoe yang berasal dari Cilacap.
Selain beberapa oganisasi pergerakan yang berafiliasi dibawah B.K.I.R., didirikan pula sebuah organsisasi bernama Keinsafan Ra’jat Indoensia Riouw atau K.R.I.R. oleh Mohamad Saleh, Amir Raja Muhamad, dan Mohamad Apan pada bulan November 1946.
Lencana organisasi ini yang berbetuk belah ketupat jelas menggambarkan misi dan semangat perjuangan anak Melayudi Tanjungpinang yang ditandai dengan simbol dua bilah keris yang hulunya besilang menaungi matahari terbit menggunakan warna merah dan dasar putih. Dibawahnya terdapat tulisan K.R.I.R., Keinsafan Ra’jat Idonesia Riau dalam huruf Arab Melayu dan huruf latin, serta dan tarikh penubuhan organisasi tersebut pada tahun 1946.
Menurut laporan Residen Riau melalui asisten Residen J.B. van Schendel kepada Jaksa Agung Hindia Belanda di Batavia tanggal 15 Juli 1947, pada mulanya K.R.I.R dutubuhkan hanya untuk orang Riau (baca Kepulauan Riau, red), dengan tujuan untuk menghapuskan kesenjangan sosial ekonomi di kalangan masyarakat Kepulauan Riau. Namun, sejak Mohamad Apan dipilih sebagai ketua, organiasi ini bersimpati kepada perjuangan Republik Indoenesia yang telah diproklamasikan dan perlahan-lahan menjadi organisasi politik politik yang moderat dan terbuka bagi bukan orang Riouw (niet Riouwer) di Tanjungpinang.
Disamping organisasi dan perkumpulan “besar” yang bergerak di Tanjungpinang, dan mempunyai jaringan dengan basis Republik Indoesia di Singapura dan Sumatra, di Pulau Penyengat berdiri pula sebuah perkumpulan bernama Kesatoean Pemoeda Baroe. Dalam laporan dua-mingguan (Twee-Wekelijksche Beruchtgeving) Residen Riau tahun 1947, dinyatakan bahwa organisasi in juga sibuk melakukan pertemuan-permuan.
Gerakan-gerakan anti Belanda di Tanjungpinang berkembang lebih sistimatis semakin mencemaskan Belanda ketika secara rahasia ditubuhkan Badan Siasat Kepoelisian N.R.I. (Negara Republik Indonesia) Keresidenan Riau Daerah Riau-Linga, untuk wilajah Tanjungpinang dan Kijang pada 1 Maret 1948. Lembaga ini adalah cikal bakal-bakal kepolisian negara Republik Indonsia di Tanjungpinang yang berada di bawah kendali Poesat Kepolisian Negara Repoeblik wilayah Keresidenan Riau yang berkedudukan di Pekanbaru.
Badan Siasat Kepoelisian ini dibentuk sebagai sarana sistimatis untuk menyusup ke dalam segala bagian struktur perintahan Belanda, Dewan Riouw bentukan Belanda, militer dan kepolisian Belanda, perusahan bousksit di Kijang, Masyakat Tionghoa, dan organisasi-organisasi politik-pergerakan yang ada di Kepulauan Riau-Lingga, dalam rangka menegakkan kedaulatan Republik Indonesia di Kepulauan Riau.
Pembentukan Badan ini juga melibat seluruh anggota organisasi bahwa tanah seperti B.K.I.R , A.M.I.R., dan G.R.I.R.. Sebagai ketua untuk wilayah Tanjungpinang ditunjuk Mohammad Amin Ali yang juga adalah ketua A.M.I.R. Sementara itu, untuk wilayah Kijang diangkat mantan polisi Belanda yang kala itu adalah juru tulis perusahaan bauksit N.V. NIBEM di Kijang, bernama Abdoel Djalil yang tinggal di Kampung Bukit, Tanjungpinang.
Dan satu hal yang menarik, seorang perempuan pegawai Riouw Raad atau Dewan Riau bikinan Belanda bernama Roekini, janda Soenarjo yang gugur di benteng KNIL Tanjungpinang tahun 1946, diberi tanggung jawab memimpin bagian “pergerakan” kaum perempuan pada Badan Siasat Kepoelisian Keresidenan Riau Daerah Riau-Lingga untuk wilayah Tanjungpinang dan sekitarnya.
Tokoh-tokoh oraganisasi pendukung Republik ini adalah “elit revolusi” di Tanjungpinang yang besar peranannya dalam mempertakan dan menegakkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Keberadaan dan aktifitas mereka cukup “menggerunkan” pihak Belanda di Tanjungpinang antara tahun 1946 hingga tahun 1950. Bagaimana reaksi Belanda di Tanjungpinang?
Pada hakekatnya, di atas “pentas revolusi”, dua kekuatan saling bertembung untuk mempertahankan dan meruntuhkan sebuah sistem pada pada sisi, dan mempertahankannya pasa sisi yang lain. Dalam “pentas” Revolusi Indonesia yang juga menjalarkan ke Tanjungpinang, hasrat untuk meruntuhkan sistem yang kembali dibangun oleh Belanda itu ditandai agitasi-agitasi anti Belanda.
Memasuki pertengahan tahun 1946, suasana politik di Tanjungpinang mamasuki suasana yang genting dan mencapai titik didihnya. Tokoh-tokoh dan organisasi pendukung Republik mulai menyusun sejumlah gerakan yang dipandang ekstrimis oleh Coenrad, Komandan Reserse (Hoofd Recherche) Polisi Belanda, dan Residen Belanda di Tanjungpinang. Akibatnya, penangkapan dan pengeledahan sejumlah tokoh revolusi di pada sejumlah tempat di Tanjungpinang.
Memanasnya suhu politik ini dimulai dengan agitasi-agitasi yang dilakukan oleh Sunaryo, Komandan Pos Polisi Belanda di Tanjungpinang, yang juga anggota Gerakan Merah Putih dan tokoh Badan Kedaulatan Indonesia Riouw (B.K.I.R). Walaupun berdinas sebagai anggota Veldpolitie Belanda, Sunaryo dikenal sangat membenci dan anti Belanda. Aksi-aksi selalu “menjengkelkan” pemerintah Belanda di Tanjungpinang.
Laporan-laporan polisi dan jaksa Belanda di Tanjungpinang mencatat, bahwa Sunaryo pernah beberapa kali mengumpulkan uang untuk membantu aktifitas kurir perwakilan Republik Indonesia yang selalu berulang alik ke Tanjungpinang mengumpulkan informasi tentang keuatan militer Belanda. Dia juga dilaporkan selalu mengumpulkan eks Giyutai (tentara pembera pulau-pulau pada zaman jepang) pada sebuah rumah makan Padang di Tanjungpinang yang dijadkkany markas “Gerakan Merah Putih”
Bahkan, dalam laporannya kepada Jaksa Agung di Batavia, Residen Riau menyebutkan bahwa Soenaryo antara lain kerap menyalahgunakan dan “mempertaruhkan” jabatannya sebagai guru sekolah polisi di Tanjungpinang dengan melakukan propaganda bagi Gerakan Merah Putih dan menyebarkan sentimen anti Belanda kepada murud-muridnya.
Sebagai ilustrasi, laporan rahasia yang dimuat dalam laporan Algemeene Politie di Tanjungpinang itu mencatat bahwa ia pernah “menghasut” murid-muridnya dalam sebuah latihan menggunakan senjata dengan berkata sebagai berikut: “Pertama-tama, sekarang saya ajarkan anda menggunakan senjata yang baik, jika kita segera “merdeka” prajurit kita bisa melawan Belanda menggunakan [senjata] ini.
Ia juga selalu medesak B.K.I.R mengusulkan dan meberitahu Belanda bahwa mereka akan menaikkan bendera merah putih pada lang tahun kemerdekaan yang pertama yang akan diperingati di Tanjungpinang pada 17 Agustu tahun 1946. Sebuah permohonan yang tak mungkin dikabulkan pada masa itu.
Kekhawatiran pemerintah Belanda tindak-tanduk Sunaryo, semakin memuncak, ketika diketahui bahwa ia akan melakukan sebuah peemberontakan yang didukung oleh 100 orang polisi bersenjata. Akibatnya ia dipecat dari kepolisian dan ditahan di penjara benteng KNIL di Bukit Tanjungpinang (sekarang Rumah Sakit AL Tanjungpinang) setelah melalui serangkain pemeriksaan pada 3 Juli 1946.
Penahanan Sunaryo semakin membuat suhu politik dan aktifitas organisasi pendukung kemerdekaan di Tanjungpinang semakin riuh. Apalagi ketika penahanan itu berakhir dengan kematian Sunaryo secara tidak wajar. Ia gugur wira bangsa dan “martir” di pentas revolusi di Kepulauan Riau.
Laporan-laporan Jaksa tentang pemeriksaan kasus kematian Sunaryo ini jelas menyebutkan bahwa ia dibunuh oleh serdadu Keyman Bruno. Sementara sumber local menyebutkan, peritiwa ini diawali dengan penghinaan Keyman terhadap Republik Indonesia di depan Sunaryo. Akibatnya, menurut Keyman, Sunaryo “Gelap Mata” dan emosi sehingga berusaha merampas sten-gun. Namun sebelum berhasil Keyman Brono lebih dulu melepaskan tempaban, dan Sunaryo akhirnya gugur. Mula ia dimakamkan di Taman Bahagia, dan pada tahun 1975 barulah jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Pusara Bakti, Tanjungpinang.
Hingga tingkat tertentu Belanda cukup fair dalam peristiwa ini. Keyman Brono, bersama serdadu lainya seperti, de Bekker, Bor, dan Westveer diroses secara huku. Dalam pemeriksaan ia mengaku menembak dan mumukul Sunaryo. Otoritas Belanda di Tanjungpinang memandang kasus ini sangat sensitif dan penuh dilema, karena akan berdampak bila Keyman Bruno di Hukum dan semakin memanaskan suasana politik di Tanjungpinang bila tidak diselesaikan. Namun yang pasti Keyman Bruno akhirnya dipulangkan ke Negeri Belanda.
Peristiwa gugurnya Sunaryo semakin membuat ekstrem gerakan-gerakan kelompok dan organisasi pro-Republik di Tanjungapiang, walau pimpinan berusa menenangkan orang-orang B.K.I.R dan gerakan Merak Putih. Apalagi ketika Dr. Iljas Dt. Batuah, pimpinan B.K.I.R. melepas Sunaryo dihari pemakamannnya dengan kata: “Pergilah tuan dahulu, kami akan meneruskan djejakmu. Perjuanganmu akan dilanjutkan.”
Salah satu dampak politis dari gugurnya Sunaryo adalah munculnya sebuah organisasi sayap kepemudaan B.K.I.R. yang diberi nama Angkatan Moeda Indonesa Riau dan disingkat A.M.I.R. Sebuah organisasi yang dicap Belanda ekstremin, illegal, yang bergerak di bawah tanah. Oganisasi pemuda dibawah naung B.K.I.T. ini diketuai oleh Muhamad Amin Ali, anak kampung Jawa, juru gambar kantor lalu-lintas dan pekerjaan umun di Tanjungpinang.
Wakil ketua adalah Dachlan Deo orang Gorontalo pegawai kantor juru bayar di Tanjungpinang. Sekretaris dipegang oleh Chairoel Ali Rasahan yang tingal di Kampung Jawa. Dan sebagai bendahara adalah Hasjim Ali, pegawai kantor kehutan di Tanjungpinang. Ketika didirikan, jmlah anggota organisasi ini 20 orang yang terdiri dari orang Minangkbau, Jawa, Gorontalo, dan orang Melayu Tanjungpinang sendiri.
Pada tahun 1947, A.M.I.R. pernah mengirim sebuah petisi kepada Residen Riau, yang isinya memohon agar mereka dapat menggunakan bendera merah putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya pada tanggal 17 Agustus pada setiap bulannya untuk memperingati berdirinya Republiek Djokja (maksudnya Republiek Indonesia, karena waktu itu ibukota Republik berada di Jokjakarta setelah Jakarta kembali diduduki Belanda, red). Bagaimanapun, petisi ini ditolak, dan otoritas Belanda di Tanjungpinang mengambil keputusan untuk membubarkan A.M.I.R. dan B.K.I.R. sekaligus.
Namun semua rencana itu buyar ketika Dr. Iljas Dt. Batuah dan Soebarma, ketua dan wakil ketua B.K.I.R. akhirnya dipindah tugaskan ke Taluk Kuantan dan Bandung. Walau pemimpinnya utamanya dipindahkan ke luar Tanjungpinang, aktifitas, B.K.I.R. dan onderdeel-nya semakin meningkat. Pada bulan September 1947, pimpinan A.M.I.R. menggelar sebuah rapat rahasia di rumah Hasjim Ali, Bendahara Amir, di Kampung Jawa, untuk membicarakan kemungkinan melakukan pemberontakan bersenjata terhadap otoritas pemerintah Belanda di Tanjungpinang.
Laporan polisi Belanda menyebutkan, dalam rapat tersebut antara lain hadir: Muhamad Amin Ali, Chairoel Ali Rasahan, Dachlan Deo, Marzoeki alias Sotong, Hasjim, Timporok (anggota militer Belanda), dan William Sinjal (telegrafi P.T.T.). Sasran utama mereka adalah Benteng KNIL di Bukit Tanjungpinang, dan untuk itu seorang serdadu KNIL bernama Wallywongko (orang Manodo) akan bekerja sama.
Bagaimanapun, rapat dan hasil rapat itu bocor dan sampai juga ke pihak Belanda, karena adanya orang-orang yang “tjari makan” di tengah heroinya perjuangan itu. Akhirnya, setelah melalui berbagai pertimbangan dan demi mendahului pecahnya pemberontakan itu, pada tanggal 5 Juni 1948, polisi Belanda melakukan penangkapan dan penggeledahan @ huiszoeking besar-besaran terhadap rumah-rumah anggota dan pemimpin A.M.I.R. Inilah yang kemudian dikenal sebagai “peristiwa 5 Juni”.
Akibatnya Amin Ali dan Chairoel Ali Rasahan ditangkap di rumah mereka dan ditahan di kantor Polisi Tanjungpinang pada pukul 9 pagi tangal 5 Juni 1948. Dalam penggeledahan di rumah mereka, ditemukan arsip-arsip A.M.I.R. yang kemudian disita. Dua hari kemudian, yakni pada tanggal 7 Juni 1948, ditangkap pula Hasjim Ali, saudara kandung Amin Ali, yang merupakan bendahara A.M.I.R. untuk memberikan kesaksian tentang rencana pemberontakan itu.
Akhirnya, bersama ketika orang tokoh A.M.I.R., itu ditangkap pula 14 orang pemimpin A.M.I.R. beserta 12 orang anggota lainnya. Setelah melalui pemeriksaan, maka yang ditahan adalah Muhammad Amin Ali, Chairoel Ali Rasahan, Abdoelrachman Kadir, Timporok, dan Walliwongko. Semenatar itu Dachlan Deo dilepas karena kesehaannya tak memingkin untuk ditahan.***
Aswandi Syahri, Sejarahwan Kepri
sumber: tanjungpinangpos
Post a Comment for "Gelora Api Revolusi di Tanjungpinang Tahun 1945 – 1950"