Keputusan di Tengah Kegalauan
Suparman, lelaki kelahiran Pati, Jawa Tengah yang besar di Sumatera Utara dan mendapatkan istri orang sana menurutkan kepadaku.
Lebih dari 10 tahun lalu ia bekerja di sebuah perusahaan swasta di Batam. Seperti kebanyakan karyawan baru lain, yang terbayang ialah bekerja keras, mendapatkan penghasilan yang selalu meningkat dan hidup nyaman. Klise. Memang seperti itulah yang senantiasa ada dalam pikiran begitu banyak manusia saat bekerja dengan orang lain.
Hingga tahun 2012, sudah beberapa jabatan yang dipegang oleh Suparman. Sebuah kebijakan akhirnya membuatnya berani mengambil keputusan. memasuki bulan puasa tahun 2012, ia harus bersedia dipindahkan dari Batam ke Tanjungpinang sebagai sales. Meski dengan berat hati mau tak mau akhirnya Suparman tak mampu menolak kebijakan kantornya.
Dipindahkan ke Tanjungpinang dengan bekal seadanya, karena memang perusahaan tempatnya bekerja terbiasa dengan mengirimkan pegawainya berbekal apa adanya. Dua hari Suparman tidur di kantor cabang perusahaan tempatnya bekerja di Tanjungpinang. Hingga akhirnya aku bertemua dia. Kebetulan salah satu kamar di rumahku kosong.
Seminggu bahkan sebulan pindah ke Tanjungpinang, hampir setiap malam Suparman harus mendapatkan telepon istrinya yang memang membutuhkannya ada di Batam. Tiga anaknya masih memerlukan campur tangannya di tengah keluarga. Apalagi tangisan si kecil yang belum masuk SD. Entah itu yang tak mau makan, susah tidur, menjadi menu setiap malam bagi Suparman. Dan aku mendengarnya sendiri. Bagaimana ia membujuk anaknya agar mau tidur. Beberapa kali anak bungsunya demam. Dan Suparman pun diam-diam kadang balik ke Batam sehari, esoknya balik lagi ke Tanjungpinang.
Tugasnya sebagai sales yang mengharuskannya berkelana di jalanan membuatnya bisa curi-curi kesempatan. Namun tak urung caranya ini akhirnya tercium orang kantornya dan sudah pasti peringatan diterima Suparman. Untuk pulang ke Batam memang tak butuh banyak waktu. Suparman yang membawa sepeda motor tua masih bisa melakukan ritual pulang balik Batam - Tanjungpinang ini.
Momen yang aku rasa tak akan pernah dilupakan Suparman ialah tatkala lebaran. Ia bicara kepadaku, minta izin tak akan balik lagi ke Tanjungpinang. Kalau toh nanti datang itu sekadar silaturahim atau jalan-jalan. Ya, Suparman berniat mengakhiri karirnya sebagai pegawai yang hanya mengharapkan gajian. Seingatku, ada sebulan penuh ia rembugan soal ini dengan istrinya. Bahkan istrinya pernah ke rumahku untuk sekadar ingin bertemu, mengucapkan terima kasih telah memberikan tumpangan buat suaminya.
Aku tak peduli apakah ada kesalahan Suparman sehingga dipindahkan dari Batam ke Tanjungpinang pada bulan puasa, bulan di mana seorang suami dan ayah biasanya mencari uang tambahan untuk persiapan baju lebaran anak dan kue lebaran di rumah. Aku juga tak peduli jika ia sering mencuri waktu pulang diam-diam dari Tanjungpinang ke Batam ketika anaknya sakit sementara belum jadwalnya untuk bisa pulang. Aku juga tak peduli berapa gaji Suparman. Bahkan aku juga tak pernah ngurusi Suparman selama di rumahku, mau menelepon atau ditelepon siapa.
Cuma satu yang aku peduli. Niatnya untuk resign dari pekerjaannya ternyata diimbangi semangat yang luar biasa keras. Semangat yang membakarnya untuk tetap bertahan hidup bukan sebagai orang gajian. Seminggu lalu aku ke Batam dan iseng-iseng aku menelepon dia. Di rumahnya aku melihat tetangga kanan kirinya mengambil bawang dari rumahnya. Tetangga ini mengupasnya dengan hitungan per karung. Suparman bisa mendapatkan puluhan karung sekali kapal pembawa bawang datang. saha ini ditangani istrinya. Anak-anaknya, jika tak sedang belajar diminta membantu mengupas kulit bawang. Selanjutnya Suparman sendiri yang mengantarkan bawang yang sudah dikupas ke pelanggan-pelanggannya di sejumlah tempat, kebanyakan pasar.
Sementara di kantongnya, ponsel Suparman begitu sering berdering. Alhamdulillah, Suparman kini sukses mengelola empat kendaraan roda empatnya. Ia membuka usaha kursus mengemudi, membantu menguruskan SIM, dan usaha utamanya ialah menyewakan kendaraan roda empat bagi warga yang membutuhkannya. Dua mobil baru dibelinya sebulan lalu, dari hasil menggadaikan rumah serta hasil usahanya tadi. Tentu ia dan istrinya harus pandai mengatur keuangan keluarga.
Suparman tak ingin terjebak dalam kesalahan yang sama. Ia sempat ditawari bekerja oleh perusahaan pesaing tempatnya kerja yang lama, namun ia menolaknya. Paling tidak ia menjadi bos bagi dirinya sendiri, begitu ia mengatakannya kepadaku. Ia mengatakan, empat tahun lagi empat mobilnya akan selesai kreditnya dan ia berencana membesarkan usahanya ini.
Memang capai, memang letih, namun Suparman membuktikan kepada dirinya sendiri, kepada anak-anaknya, kepada istrinya ia mampu hidup dengan pilihannya sendiri. Ia ingin sukses bukan karena sakit hati, melainkan karena ingin dianggap sebagai manusia yang diberikan kelebihan berbuat lebih baik karena berani mengambil keputusan yang tepat.
![]() |
Suparman saat ngopi di Nagoya Hill, Batam |
Hingga tahun 2012, sudah beberapa jabatan yang dipegang oleh Suparman. Sebuah kebijakan akhirnya membuatnya berani mengambil keputusan. memasuki bulan puasa tahun 2012, ia harus bersedia dipindahkan dari Batam ke Tanjungpinang sebagai sales. Meski dengan berat hati mau tak mau akhirnya Suparman tak mampu menolak kebijakan kantornya.
Dipindahkan ke Tanjungpinang dengan bekal seadanya, karena memang perusahaan tempatnya bekerja terbiasa dengan mengirimkan pegawainya berbekal apa adanya. Dua hari Suparman tidur di kantor cabang perusahaan tempatnya bekerja di Tanjungpinang. Hingga akhirnya aku bertemua dia. Kebetulan salah satu kamar di rumahku kosong.
![]() |
Anak Suparman mengupas bawang |
Tugasnya sebagai sales yang mengharuskannya berkelana di jalanan membuatnya bisa curi-curi kesempatan. Namun tak urung caranya ini akhirnya tercium orang kantornya dan sudah pasti peringatan diterima Suparman. Untuk pulang ke Batam memang tak butuh banyak waktu. Suparman yang membawa sepeda motor tua masih bisa melakukan ritual pulang balik Batam - Tanjungpinang ini.
Momen yang aku rasa tak akan pernah dilupakan Suparman ialah tatkala lebaran. Ia bicara kepadaku, minta izin tak akan balik lagi ke Tanjungpinang. Kalau toh nanti datang itu sekadar silaturahim atau jalan-jalan. Ya, Suparman berniat mengakhiri karirnya sebagai pegawai yang hanya mengharapkan gajian. Seingatku, ada sebulan penuh ia rembugan soal ini dengan istrinya. Bahkan istrinya pernah ke rumahku untuk sekadar ingin bertemu, mengucapkan terima kasih telah memberikan tumpangan buat suaminya.
Aku tak peduli apakah ada kesalahan Suparman sehingga dipindahkan dari Batam ke Tanjungpinang pada bulan puasa, bulan di mana seorang suami dan ayah biasanya mencari uang tambahan untuk persiapan baju lebaran anak dan kue lebaran di rumah. Aku juga tak peduli jika ia sering mencuri waktu pulang diam-diam dari Tanjungpinang ke Batam ketika anaknya sakit sementara belum jadwalnya untuk bisa pulang. Aku juga tak peduli berapa gaji Suparman. Bahkan aku juga tak pernah ngurusi Suparman selama di rumahku, mau menelepon atau ditelepon siapa.
Cuma satu yang aku peduli. Niatnya untuk resign dari pekerjaannya ternyata diimbangi semangat yang luar biasa keras. Semangat yang membakarnya untuk tetap bertahan hidup bukan sebagai orang gajian. Seminggu lalu aku ke Batam dan iseng-iseng aku menelepon dia. Di rumahnya aku melihat tetangga kanan kirinya mengambil bawang dari rumahnya. Tetangga ini mengupasnya dengan hitungan per karung. Suparman bisa mendapatkan puluhan karung sekali kapal pembawa bawang datang. saha ini ditangani istrinya. Anak-anaknya, jika tak sedang belajar diminta membantu mengupas kulit bawang. Selanjutnya Suparman sendiri yang mengantarkan bawang yang sudah dikupas ke pelanggan-pelanggannya di sejumlah tempat, kebanyakan pasar.
Sementara di kantongnya, ponsel Suparman begitu sering berdering. Alhamdulillah, Suparman kini sukses mengelola empat kendaraan roda empatnya. Ia membuka usaha kursus mengemudi, membantu menguruskan SIM, dan usaha utamanya ialah menyewakan kendaraan roda empat bagi warga yang membutuhkannya. Dua mobil baru dibelinya sebulan lalu, dari hasil menggadaikan rumah serta hasil usahanya tadi. Tentu ia dan istrinya harus pandai mengatur keuangan keluarga.
Suparman tak ingin terjebak dalam kesalahan yang sama. Ia sempat ditawari bekerja oleh perusahaan pesaing tempatnya kerja yang lama, namun ia menolaknya. Paling tidak ia menjadi bos bagi dirinya sendiri, begitu ia mengatakannya kepadaku. Ia mengatakan, empat tahun lagi empat mobilnya akan selesai kreditnya dan ia berencana membesarkan usahanya ini.
Memang capai, memang letih, namun Suparman membuktikan kepada dirinya sendiri, kepada anak-anaknya, kepada istrinya ia mampu hidup dengan pilihannya sendiri. Ia ingin sukses bukan karena sakit hati, melainkan karena ingin dianggap sebagai manusia yang diberikan kelebihan berbuat lebih baik karena berani mengambil keputusan yang tepat.
Post a Comment for "Keputusan di Tengah Kegalauan"