Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tergantung Situasinya

Seorang pelajar di Dompak, Kepri pukang sekolah sambil menenteng sepatunya. Foto-adly bara hanani
Lihatlah foto di atas. Bagi anak-anak sekolah di kota besar, mungkin kebanyakan akan tertawa menyaksikannya, meski ada yang pasti terenyuh. Biarkah anak kampung ini berjalan menempuh cita-citanya yang belum diketahui titik akhirnya. Aku hanya ingin menuliskan sepatu yang ditentengnya.

Sepatu merupakan salah satu jenis alas kaki. Seperti namanya, sepatu seharusnya dipakai di kaki, supaya kulit kaki terlindungi. Lebih jauh lagi biar penampilan terlihat gagah. Anak ini pasti tahu juga, sepatu memang untuk sepasang kakinya yang setiap hari melintasi jalan tanah dari sekolah ke rumahnya dan sebaliknya. Namun ia berpikir, jika sepatu itu terus ada di kakinya, pasti kotor saat hujan turun. Basah lagi. Dan ia harus bertelanjang kaki esok harinya ketika sepatunya belum kering dicuci.



Semuanya memang tergantung situasinya. Suatu saat, sepatu itu akan tetap menjadi alas kaki bagi bocah ini. Ketika ia sudah bekerja dan mampu membeli sepatu sesuai keinginannya. Ketika ia menjadi seorang pemimpin, yang bisa berganti-ganti sepatu dengan merek yang tentu beragam. Untuk saat ini ia menyesuaikan dirinya dengan situasi.

Alangkah indahnya jika sepatu yang ditenteng bocah ini bisa menjadi pelajaran hiaup bagi kita. Kita bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang dihadapi. Seorang pemimpin misalnya, ada kalanya dibutuhkan sebagai teman oleh anak buahnya. Ia meninggalkan meja empuknya di ruangan khusus ber-AC dan mendatangi bawahannya yang terkurung ribuan masalah. Saat ia berada di samping bawahannya dan menempatkan diri sebagai kawan, ia tentu bertutur kata bak seorang teman.

Begitu banyak contoh yang bisa dijadikan terapan dari sepasang sepatu ini. Mungkin juga ketika bocah ini tak peduli situasi, pokoknya mengenakan sepatu, bau sepatunya bisa membuat teman-teman di kelasnya menutup hidung. Demikian juga dengan seseorang yang sangat yakin posisi baginya adalah statis, pemimpin ya pemimpin, tidak pernah mencoba menurunkan perasaannya sebagai bawahan, mungkin tingkah lakunya lama-lama bisa bau. Karena ia tak pernah lagi merasakan bagaimana merasakan persoalan menjadi bawahan. Ia hanya bisa memerintah, menunjuk dan menuding. Toh menurunkan perasaan bukan berarti seorang pemimpin harus mengenakan pakaian seperti bawahannya. Ia boleh saja mengenakan dasi dengan jas bersih, hanya saja sikapnya menyesuaikan diri dengan bawahannya.

Bukankah menjadi bawahan selalu harus hormat dengan pemimpinnya? Apakah ketika sang pemimpin bersedia menemaninya di sebuah kedai makan tepi jalan lalu curhat sang bawahan akan berbicara seenaknya? Bisa saja sang bawahan lebih menghormati pemimpinnya yang bersedia berbagi dan membantu menyelesaikan masalahnya...

Post a Comment for "Tergantung Situasinya"