Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Terpendam dari Lorong Sepatu (5)

Ketika Cinta Masih Menyimpan Malu

Di antara 10 tukang sol sepatu di Lorong Sepatu, hanya dua yang umurnya bisa dibilang muda, meski mendekati atau baru lewat 40-an, yaitu Sueri dan Indra. Dibandingkan yang lainnya juga, mereka berdua yang masih menikmati sedapnya hasil menjual jasa memperbaiki sepatu. Sementara satu, dua atau beberapa generasi yang lebih tua ada satu hal yang dipikirkan, kepada siapa usaha ini kelak akan diwariskan.

Menghadapi persaingan usaha yang semakin semrawut di zaman sekarang, menjadi tukang sol sepatu tentu bukan pilihan yang jelek. Memperbaiki sepatu rusak juga bukan asal bisa, melainkan butuh ketrampilan khusus. Asal bisa sih tak ada yang melarang, tetapi apa punya kesabaran ganda karena seringnya dikomplain pelanggan karena jahitannya tidak rapi, lemnya baru dua hari sudah ngelotok lagi atau masalah lainnya yang membuat pemilik sepatu tak merasa nyaman.

Salah satunya Pak John, yang sudah 40 lembar kalender dihabiskan di Lorong Sepatu. Saat usianya tak lagi muda, ia berpikir alangkah bahagianya bisa memberikan bekal penghidupan untuk anak-anaknya, sementara ia menghabiskan sisa usia di rumah. Sayang, ketika tawaran ini dilontarkan ke salah satu anak lelakinya, justru tidak menarik hati bagi sang anak. Hingga akhirnya, Pak Joh membuat sebuah kesimpulan berdasarkan pengalaman pribadinya: usaha tukang sol sepatu kurang cocok bagi anak-anak muda.

"Anak-anak muda kan lagi diserang virus cinta, pasti malu jika ditanya pacarnya apa pekerjaannya. Padahal dari sisi penghasilan, sudah pasti ada rezeki setiap hari di Lorong Sepatu ini. Anak-anak muda masih menyimpan rasa gengsi yang tinggi," demikian kesimpulan Pak John.

Memang hanya satu anak muda berusia 24 tahun yang saya tanya apakah ia bersedia menjadi tukang sol sepatu. Namanya Udin, bekerja sebagai kuli bangunan di Batu 9, hari itu sedang mencari celana jins setelah mendapatkan gaji selama dua minggu bekerja. Gajiannya memang per dua minggu. Meski sya yakinkan -padahal kalau ia menjawab mau tentu saya yang bingung mau ditempatkan di mana lha wong di Lorong Sepatu semua lahan sudah terisi he he- kalau hasil tukang sol sepatu bisa melebihi kuli bangunan, lagi pula tak harus berpanas-panasan. Tinggal duduk santai, bercengkerama dengan teman seprofesi, ada saja yang datang mengantarkan sepatunya untuk diperbaiki.

"Malu Bang, apalagi tempatnya ramai begitu."

"Malu kalau ditanya pacar, ya?" pertanyaan saya agak menohok jantungnya.

Dan Udin hanya tersenyum.

Saya desak lagi dengan pertanyaan yang sama. Dan Udin pun mengangguk, lalu pergi meninggalkan saya karena dua temannya sudah terlihat sibuk memilih celana jins di sebuah toko busana di dalam pasar.

Hanya Udin yang saya tanya, tak bisa dijadikan pedoman. Tetapi saya yakin, sependapat dengan Pak John, banyak anak muda yang lebih suka bekerja di tempat lain meski hasilnya jauh di bawah tukang sol sepatu, meski tak sedikit juga yang bersedia menjalani profesi ini. Saya jadi ingat anak-anak muda, kebanyakan dari Jawa Barat, setiap hari mengitari rumah-rumah penduduk sambil memikul dua kotak kecil. Merekalah tukang sol sepatu keliling yang selalu menarik perhatian dengan suaranya yang khas. Bahkan dulu, sewaktu masih tinggal di Batam, anak balita saya suka menirukan teriakan tukang sol sepatu keliling. Babaku, babaku.... celoteh anak saya menirukan suara khas tukang sol sepatu. Maksud anak saya pasti sol sepatu, yang diucapkan dengan aksen khas sehingga tak terdengar jelas.

Sekali lagi cinta. Meski almarhum Gombloh pernah punya lagu bagus yang liriknya begini: kalau cinta sudah melekat, tahi kucing rasa cokelat. Nyatanya tidak selalu begitu, zaman sekarang cinta lebih rasional. Termasuk urusan pekerjaan sang arjuna. Kalau bisa penampilan fisiknya menjadi modal utama, soal pekerjaan... ah kan bisa dicari nanti.(bersambung)

Post a Comment for "Kisah Terpendam dari Lorong Sepatu (5)"