Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Upah Sang Pewarta

Bagi yang tidak tahu, melihat wartawan, meski sekelas reporter, turun ke lapangan dengan gayanya yang penuh percaya diri menimbulkan sejumlah pertanyaan. Salah satunya duh enaknya jadi wartawan.

Jika mau jujur, gaji atau upah jurnalis yang diterima dari kantornya hanya cukup untuk beberapa kebutuhannya. Wajar saja saat ini stigms negatif mulai masuk ke otak warga, jurnalis hanya tertaril menuliskan berita yang ada amplopnya, atau selalu dekat dengan pengusaha yang menjalankan bisnisnya samar samar. Kalau tak ingin usaha samar samar tadi diungkap, ya ngasih jatah. Terlalu banyak kisah nyata disaksikan masyarakat terkait profesi ini.

Aku kutip berita dari kompasdotcom berikut. Upah layak untuk profesi jurnalis di Jakarta adalah sebesar Rp 5,7 juta per bulan. Angka tersebut dianggap dapat memenuhi kebutuhan hidup layak di Jakarta. Demikian rilis yang dikeluarkanAliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Minggu (3/11/2013).

"Besaran upah layak ini kami peroleh dengan perhitungan dan analisis terhadap 39 barang dan jasa menyangkut kebutuhan hidup layak bagi seorang jurnalis di Jakarta," ujar Ketua AJI Jakarta, Umar Idris, dalam konferensi pers.

Ia menuturkan, komponen yang mengambil porsi terbesar dari jumlah tersebut adalah untuk kebutuhan makanan yaitu sebesar Rp 2,1 juta per bulan.Selain itu komponen-komponen lain sebagai kebutuhan penunjang tugas jurnalistik yang mencapai besaran angka Rp 1,5 juta per bulan.

"Sisanya adalah kebutuhan tempat tinggal dan sandang," tukasnya.

Terkait hal tersebut, AJI Jakarta mengimbau perusahaan media dan organisasi perusahaan media cetak, online, radio dan televisi untuk menjadikan upah layak ini sebagai acuan dalam memberikan upah minimal kepada jurnalis setingkat reporter, dengan pengalaman kerja satu tahun, dan baru saja diangkat menjadi karyawan tetap.

Karena faktanya, hingga saat ini, dalam survei yang diselenggarakan AJI Jakarta, sebagian besar media masih memberikan upah yang jauh di bawah upah layak kepada para reporternya.

"Ini terjadi di media cetak, online, radio, dan televisi. Dalam survei upah jurnalis, rata-rata upah reporter di Jakarta di kisaran Rp 3 juta per bulan," imbuhnya.

AJI Jakarta memandang tingkat upah layak ini sangat penting agar jurnalis lebih profesional dalam menjalankan tugasnya.Rendahnya upah dan kesejahteraan jurnalis membuat profesi ini akan selalu rentan terhadap godaan suap/amplop dalam bentuk apapun.

"Kondisi ini sangat berbahaya bagi kebebasan pers karena pers dapat dikendalikan oleh kepentingan narasumber, tidak lagi mengabdi kepada kepentingan publik," tandasnya.

Bisa dibayangkan jika jurnalis harus mikir uang sekolah anaknya saat meliput sebuah kasus yang seharusnya diungkap. Atau betapa pahitnya mulut karena seharian belum tersentuh sebatang rokok, sehingga amplop senilai 10 bungkus rokok pun diterima dengan nyaman.

Jadi teringat saat aku masih bekerja di media. Dan maaf, aku keluar bukan karena gaji tadi. Beruntung ada usaha sampingan yang aku rintis beberapa tahun silam sehingga aku masih bisa berangkat ke kantor dengan nyanyian gembira di hati. Aku harus memilih mengelola bisnis sederhana yang aku rintis dengan berdarah darah. Mengelola para pegawai, mengatur arsip pesanan serta melayani komplain. Aku terapkan pengalamanku di media belasan tahun di bisnisku.

Masih teringat bagaimana sejumlah reporter atau redakturku menyodorkan bungkus rokok ketika baru saja uang iklannya cair atau baru menerima amplop. Bagaimana mau meminta mereka harus idealis kalau gajinya pas pasan. Ahhhh semoga pengusaha media selalu mengerti kebutuhan para pegawainya.

Teringat juga ucapan seorang teman: idealis itu tetap ada nilainya......

Post a Comment for "Upah Sang Pewarta"